Gus Mus: Wayang Kulit Adalah Keindahan Yang Tak Menabrak Islam
Serambimata.com – Salah satu kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia adalah seni budaya Wayang Kulit. Terhadap budaya yang hingga kini masih digemari oleh para pecinta seni itu, UNESCO mengakuinya sebagai salah satu warisan kekayaan budaya Indonesia bernilai adiluhung. Dalam setiap penampilannya, di dalam wayang selalu dijumpahi simbol dan makna filosofis yang kuat, sehingga melestarikannya adalah suatu keniscayaan.
Sayangnya, di saat besarnya harapan agar kekayaan budaya itu tetap lestari, di bagian lain negeri ini justru muncul upaya-upaya untuk membuangnya dengan dalih agama. Dua buah spanduk yang berisi tentang pelarangan wayang kulit terpasang di Cempaka Putih, Jakarta.
Pada spanduk pertama berbunyi “pemutaran wayang kulit bukan syariat Islam”
Sedangkan pada spanduk lainnya bertuliskan “Menolak dengan keras pemutaran wayang kulit”
Sontak saja, munculnya spanduk larangan wayang kulit tersebut mengundang reaksi beragam dari berbagai kalangan, tak ketinggalan Kyai sekaligus Budayawan, KH. Musthofa Bisri atau Gus Mus.
Menurut Gus Mus wayang adalah suatu karya kesenian yang diupayakan bahwa keindahan itu tidak menabrak rambu-rambu fikih. Tentu ada perbedaan pendapat di antara para wali. Tapi mereka berkoordinasi dengan baik sekali.
Gus Mus menyebut, ada hadits yang dipakai ulama-ulama keras yang berbunyi, “Siapa yang menggambar manusia, nanti akan disuruh memberi nyawa kepada gambarnya itu.”
Nah, wayang ini tidak bisa disebut manusia, sementara disebut gambar binatang juga tidak bisa. “Tapi orang yang melihat menganggap itu manusia atau binatang. Itu hebatnya,” kata Gus Mus ketika disowani tim Ekspedisi Islam Nusantara pada April lalu.
Ia menjelaskan, tidak ada manusia yang tangannya melebihi dengkul seperti tangannya wayang. Tak ada juga manusia yang tubuhnya gepeng seperti wayang. “Tapi orang yang menonton merasa itu manusia. Itu luar biasa. Itu satu keindahan yang luar biasa,” jelasnya.
Wayang tersebut dipakai Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Konon, kata Gus Mus, Sunan Kalijaga sendiri yang mendalang, kemudian orang datang. Nilai-nilai ajaran itu dikemas sedemikian rupa dalam cerita dari Hindu dengan latar Mahabharata dan Ramayana.
Meski demikian, dalam wayang ceritanya sudah penuh dengan muatan-muatan ajaran Islam, tentang keikhlasan, tentang kemanusiaan, tentang buruknya khianat.
Dakwah itu harus sekreatif Wali Songo. Ketika di Jawa gandrung dengan kesenian, Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, menciptakan suatu yang karya monumental, yaitu wayang.
Posted on 24 Januari 2017, in Budaya and tagged Budaya Indonesia, Gus Mus, KH Musthofa Bisri, larangan wayang kulit, wayang kulit. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0