Kiai Azaim: Muhibah Umat adalah Kesempatan “Mengaji Rasa” (Sebuah Catatan)
Serambimata.com – Berkali-kali peserta Muhibah Umat terpaksa berhenti untuk sekedar berteduh di bawah-bawah pohon, di pantai yang sejuk atau mushalla milik warga. Maklum selain jarak tempuh yang harus dilalui sekitar 25 km, cuaca ekstrim di sepanjang perjalanan juga menjadi tantangan terberat seluruh peserta untuk mencapai dusun dan masjid-masjid yang dituju. KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, KHR Abdullah Faqih Gufron dan sebagian pengurus DMI yang ada di barisan depan terlihat begitu lelah dengan keringat membasahi jubah dan baju yang dikenakannya.
Selama seharian penuh keluar masuk hutan, menaklukkan terik dan panas matahari yang menyengat di sepanjang padang safana, tak sekalipun saya mendengar sosok muda yang akrab dipanggil Kiai Azaim itu mengeluh atau bahkan sekedar mengatakan panas karena cuaca ektrim saat itu. Kecuali hanya sesekali bertanya tentang waktu untuk memastikan apakah di Masjid yang dituju masih memungkinkan untuk Sholat dhuhur atau di Jama’ ta’khir.
“Sampaikan ke seluruh peserta, untuk niat Jama’ Ta’khir dari sekarang”, perintah Kiai Azaim kepada saya yang kebetulan ada di dekatnya.
Disepanjang perjalanan saya memang selalu ada di barisan depan, berjalan berdekatan dengan cucu Kiai As’ad itu. Hal itu saya lakukan selain untuk kepentingan dokumentasi dengan camera seadanya juga atas usulan beberapa peserta agar menemaninya sebagai teman ngobrol atau setidaknya dapat menjembatani kepentingan Beliau, panitia dan peserta.
Apa saja yang dilihat, disentuh dan dirasakan di sepanjang perjalanan kerap menjadi topik obrolan yang tiba-tiba dilontarkan oleh sosok muda bersahaja itu, seperti ketika melihat fenomena masyarakat pedukuhan Merak yang tak satupun memiliki rumah permanen karena berdiri di lahan koservasi hutan milik pemerintah, meskipun diantara mereka tidak sedikit yang sukses beternak dan bertani di lahan-lahan yang bukan miliknya.
“Bisa jadi mereka lebih siap meninggalkan semuanya untuk menghadap sang Khaliq ketika tiba-tiba mereka dipanggil menghadapNya karena rumah dan tempat tinggal yang mereka tempati bukan miliknya”, kata Kiai Azaim beberapa saat setelah sekolompok warga yang berjejer dipinggir jalan menyambut dan menyalaminya.
“Ya kalau mereka menyadarinya Kiai, kalau tidak?”, spontan saya bertanya.
“Kita tidak tahu hati mereka, jadi harus husnuzdzdon”, jawab Kiai Azaim singkat.
Jleeb… Jawaban Kiai Azaim kali ini seperti menusuk-nusuk kasadaran saya, betapa kita sama sekali tak berhak berprasangka buruk kepada siapapun, karena kita benar-benar tidak tahu isi hati manusia dan siapa-siapa yang selamat nanti di hadapNya.
Matahari kian terik, ratusan peserta yang terdiri dari pengurus dan anggota DMI, Pelopor, Banser, Santri Patriot Bangsa, Alumni dan sebagian warga yang menjadi penunjuk jalan, terus menyusuri jalan setapak berbatu dan berlumpur di di tengah hutan mangrove dan padang safana yang luas.
“Setiap tumbuhan ini dicipta pasti dengan hikmah dan manfaatnya, contoh tumbuhan ini, ada yang tahu manfaatnya?” Kiai Azaim kembali bertanya sambil menunjuk tumbuhan yang oleh orang Madura dikenal dengan pohon berigeh.
“Ka’dintoh gettanah bisa kangguy makaloar duri dheri soko” (getahnya ini bisa digunakan untuk mengeluarkan duri dari kaki), jawab salah seorang peserta yang berada di belakang saya dengan bahasa Madura yang kental.
“Yang saya tahu, getahnya berfungsi untuk mnyembuhkan sakit gigi Kiai, karena tetesan getahnya akan membuat gigi rontok, sehingga sakitnya hilang”, celetuk saya disambut gerrr peserta yang ada di barisan depan.
Mendampingi dan berada dekat dengan penasihat DMI itu sepanjang perjalanan Muhibah Umat pertama dua tahun lalu hingga Muhibah Umat yang terakhir kali ini, seperti mengaji berjilid-jilid buku dan kitab tentang kehidupan, menata hati dan tentang apapun dari kebersahajaan dan kedalaman ilmunya. Berkali-kali saya disadarkan akan perlunya membaca (iqra’) pada setiap apapun yang saya lihat dan saya rasakan.
“Dari Muhibah Umat kita mengaji rasa, mengaji pada alam, lingkungan dan sosial. Madrasahnya alam dan gurunya Sang Kholiq”, kata Kiai Azaim menjawab pertanyaan saya tentang pesan dan hikmah apa yang bisa dipetik dari pelaksanaan Muhibah Umat ke-1 hingga ke-10 ini.
Muhibah Umat ke-10 yang mendatangi Masyarakat di daerah Se Macan, Merak, Sidodadi hingga Sukorejo selama dua hari, 25 – 26 Februari 2017 adalah Muhibah Umat yang terkahir dari pelaksanaan Muhibah Umat periode pertama yang diselenggarakan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Situbondo).
Selama kurang lebih dua tahun sejak November 2014 lalu, Muhibah Umat digelar dengan memilih daerah pedalaman mulai dari ujung Barat hingga bagian Timur Situbondo sebagai objek dakwah dan syiar Islam. Kegiatan ini merupakan perpaduan dua kegiatan, Napak Tilas yang diadakan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo dan kegiatan Safari I’tikaf yang rutin dilaksanakan oleh DMI Situbondo setiap bulan Ramadhan.
“Terinspirasi dari kegiatan napak tilas dalam rangka 1 Abad Pesantren Sukorejo beberapa waktu lalu dan kegiatan Safari I’tikaf dari Masjid ke Masjid yang diselenggaran oleh DMI Situbondo setiap bulan Ramadhan, lalu keduanya dipadukan, maka lahirkan program yang bernama Muhibah Umat”, Papar Kiai Azaim dalam acara penutupan Muhibah Umat ke-10 di Masjid Jami’ Ibrahimy Sukorejo, Ahad (26/03/2017).
“Lalu, kami meyakini bahwa di luar sana, di daerah pedalaman, ada saudara-saudara-saudara kita dan masjid yang butuh sentuhan dan pencerahan dalam pembentengan akidah, pengelolaan masjid, penyuluhan hingga kegiatan sosial”, tambah Kyai Azaim.
Membentengi Akidah Umat dari Paham Radikalisme menjadi tema pilihan pada seluruh rangkaian Muhibah Umat pertama hingga terakhir kemarin, karenanya sangat tepat bila DMI Situbondo menggandeng Polres Situbondo dalam mensukseskan kegiatan menyapa umat itu.
“In sya Allah DMI Situbondo bersama Polri akan terus melanjutkan kegiatan Muhibah Umat hingga tahapan berikutnya, tentu dengan format dan bentuk yang berbeda dari Muhibah Umat sebelumnya berdasarkan evaluasi dan masukan dalam pelaksanaan Muhibah Ummat periode pertama”, kata Ketua DMI Situbondo, KHR Abdullah Faqih Gufron. (Hans)
Posted on 5 Maret 2017, in Sosial and tagged DMI Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, Kiai Azaim, Muhibah Umat 10. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0