Perdamaian Antara Rukyat dan Hisab?

Oleh: KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag *)

Serambimata.com – Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan pada hari Sabtu, 27 Mei 2017. Keputusan tersebuh bahkan sudah ditetapkan jauh hari sebelumnya karena motode yang digunakan adalah hisab. Sementara NU, meskipun sudah bisa dipastikan juga akan mengawali puasa pada hari yang sama, namun belum bisa memutuskan karena metode yang digunakan adalah dengan rukyat.

Meskipun awal Ramadhan tahun ini dipastikan bersamaan, namun dua metode metode berbeda yang digunakan dalam menetapkan awal Ramadhan masih rawan menimbulkan ketidak samaan pada penetapan 1 Syawal atau awal Ramadhan pada tahun-tahun berikutnya. Hal itu masih akan terjadi karena perbedaan hasil dari dua metode yang berbeda pula. 

Lalu, mungkinkah kedua metode tersebut dikompromikan sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan atau 1 Syawal (Idul Fitri). Berikut pandangan salah satu Ulama’ Ahli Fiqih, KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag., dikutip dari halaman Facebook pribadinya : 
Dalam menentukan awal bulan Ramadhan dab bulan Syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, sampai saat ini jumhur (mayoritas ulama) berpedoman pada rukyat. Yang dimaksud adalah melihat bulan baru (هلال) dengan mata kepala (رؤية بصرية)، bukan penglihatan  ilmiyah (رؤية علمية) dengan menggunakan perhitungan (حساب).

Bila penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan, mereka menggenapkan bulan Sya’ban/Ramadhan menjadi 30 hari.
Dasar mereka adalah hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما. متفق عليه 

“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadhan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”. HR. Al Bukhary dan  Muslim.

Dalam hadits riwayat Ibnu Umar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (ramadhan) dn janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka…”

Bagi jumhur, sabda Nabi (فاقدروا له) merupakan tafsir/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadits yang pertama, (فأكملواعدة) yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.

Seorang imam besar dari kalangan ulama syafi’iyah, Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengkompromikan dua riwayat hadits di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bahwa sabda Nabi (فاقدرواله) bermakna: “perkirakanlah hilal itu dg menghitung posisi2nya”. Ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi (فاكملوا عدة) ditujukan kepada mereka yang awam di bidang ilmu itu. (Fatawa Qardhawy).

Yang menarik adalah pendapat Imam Taqyuddin Assubky yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Assayyid Abu Bakar Syatha di dlm hasyiyah i’anatuththalibiin:
(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع.

“Jika satu org atau dua org bersaksi bhwa dia/mereka telh melihat hilal sementara secara hisab hilal tak mungkin terlihat, maka menurut Assubky kesaksian itu tidak diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yang bersifat dugaan tisak bisa mengalahkan yang pasti.

Substansi dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tidak dalam rangka menetapkan.

         الحساب حجة في النفي لا في الإثبات

Assayyid Abu Bakar Syatha mengomentari pendapat Imam Assubky dengan mengatakan:

والمعتد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب

Menurut yang mu’tamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak mu’tabar (tdk masuk hitungan).

Alasan Imam Assubky : (لان الحساب قطعي والرؤية ظنية) untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar2 meyakinkan (قطعي). Dengan ilmu ini, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya.

Dengan  begitu akurat (قطعي)nya ilmu astronomi saat ini maka rukyat yang semula bersifat dugaan kuat (مظنونة)، ketika bertentangan dengan hisab turun menjadi sesuatu yang diragukan (مشكوك فيها), bahkan hanya bersifat asumsi saja (موهومة).
Pendapat imam Assubky ini merupakan jalan tengah(المنهج الوسطي), sekaligus menjadi ajang perdamaian antar yang fanatik rukyat dann yang fanatik hisab.

Jika pemerintah berpegang pada pendapat ini maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal (الترائي)، ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bhwa hilal tak mungkin dirukyat.

تصحيح :
١. فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما
٢. فإن غمٌ عليكم فاقدروا له
وان كان أحدهما تفسيرا للآخر فالصواب أن المفسٌر هو الاول للثاني المجمل ، لا العكس

*) Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Pengarang kitab Fiqih Fathul Mujibil Qarib, Wakil Ketua LBM PBNU, Dosen Ma’had Aly Sukorejo, Katib Syuriah PBNU periode 2010-2015.

Iklan

Posted on 26 Mei 2017, in Agama and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: