Tobat Jadi Teroris, Khairul Ghazali Mendirikan Pesantren Deradikalisasi

Khairul Ghazali saat menjadi pembicara di acara Rosi, Kompas TV (Foto: Kompas.com)


Serambimata.com – Hukuman penjara tak selalu membuat nara pidana jera. Tidak sedikit dari mereka kembali melakukan kejahatan yang sama setelah terbebas dari hukuman, termasuk para teroris yang dibui karena terbukti terlibat dalam aksi terorisme. Tapi ternyata ada diantara para terpidana teroris akhirnya insyaf dan menyadari kekeliruannya hingga akhirnya benar-benar bertobat. 

Tak jarang mereka yang dulu anti Indonesia karena dianggap pemerintahan thoghut justru mejadi petugas pengibar bendera pada setiap momen HUT RI, itulah yang terjadi pada Umar Patek, terpidana yang diyakini sebagai asisten koordinator lapangan pada insiden peledakan bom di Bali, tahun 2002. 

Umar Patek saat menjadi petugas upacara (Foto: satuislam.org)

Lain halnya dengan Khairul Ghazali, terpidana teroris yang satu tidak butuh waktu lama, setelah empat bulan mendekam di penjara ia mendapat hidayah. Penjara menjadi titik balik bagi Khairul Ghazali untuk menyadari kesalahannya telah menjadi seorang teroris.

Dilansir dari Kompas.com (09/06/2017), selama belasan tahun Khairul mengikuti ajaran radikal dan kelompok yang menyebarkan paham radikalisme.
Khairul ditangkap oleh Densus 88 karena terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan yang menewaskan salah seorang anggota Brimob.
Dia juga terlibat kasus penyerangan terhadapPolisi menangkap Khairul pada September 2010. 

“Empat bulan saya evaluasi kembali tindakan saya, karena penjara tempat saya ditahan di Mako Brimob menjadi tempat untuk itikaf,” ujar Khairul saa tmenjadi nara sumber dalam acara Rosi bertajuk ‘Cerita Mantan Teroris’ yang ditayangkan KompasTV, Kamis (8/6/2017) malam.

Khairul memutuskan keluar dari jaringan kelompok teroris karena sadar tindakannya itu menyebabkan sesama umat Islam menderita.

Dia pun mengaku sempat diancam akan dibunuh oleh terpidana teroris yang lain karena menulis buku selama di dalam penjara.

“Oleh teman-teman seperjuangan dalam jihad saya diancam akan dibunuh. Saya pikir ini ada kebablasan memaknai jihad. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti,” ujar Khairul.

Selama di penjara, dia mengetahui anaknya mendapatkan stigma negatif karena dicap sebagai anak seorang teroris. Bahkan, anak Khairul harus keluar dari sekolah dan dikucilkan oleh teman-temannya. Hal yang sama juga terjadi dengan anak-anak lain yang orangtuanya terlibat dalam kelompok teroris.

Selain itu, Khairul juga melihat potensi anaknya mengikuti jejak sebagai seorang teroris dan direkrut oleh kelompok radikal.

Kenyataan itu yang membulatkan tekad Khairul mendirikan Pesantren Al Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara.

“Ide bikin pesantren saat di dalam penjara. Saya lihat anak saya itu tidak sekolah karena stigma anak teroris. Dia sampai keluar dari sekolah,” tutur Khairul.

“Saya berpikir kalau anak saya seperti ini bagaimana dengan 600 mantan teroris lainnya. Kalau dikali tiga saja maka ada ribuan anak yang berpotensi ikut jejak bapaknya,” kata dia.

Pesantren yang dia dirikan itu tidak jauh berbeda dengan pesantren-pesantren pada umumnya. Hanya saja, Al Hidayah memiliki progam atau mata pelajaran deradikalisasi. Mata pelajaran itu disusun sendiri oleh Khairul dan diajarkan pada sekitar 20 anak dari keluarga mantan terpidana teroris.
Ada empat poin utama yang diajarkan, yakni penanaman sifat kritis terhadap ajaran-ajaran radikal, pluralisme, indoktrinasi agama yang mengajarkan kedamaian dan menghindari ajaran agama yang bersifat dogmatis.

Menurut Khairul, ajaran agama yang bersifat dogmatis seringkali membuat seseorang itu keliru memahami nilai agama. Bahkan berpotensi melahirkan sifat fanatisme sempit terhadap agama yang justru membahayakan keberagaman.

“Islam itu jelas-jelas mengajarkan toleransi. Siapa bilang pluralisme itu juga bertentangan dengan Islam. Rasullah bahkan pernah memberi makan orang-orang miskin dari agama lain,” ucap Khairul.

Khairul Ghazali hanyalah satu dari sekian orang yang pernah memutuskan jalan hidupnya untuk menjadi teroris karena pemahaman yang dangkal soal agama. Baginya Jihadis adalah mengangkat senjata, mengebom, membunuh hingga kepada saudara Muslim lainnya. Namun akhirnya ia menyadari bahwa pilihan hidupnya adalah sebuah kesalahan besar dan tak boleh ditiru oleh generasi berikutnya. Karenanya Khairul memutuskan untuk mendirikan pesantren dengan salah satu materi yang diajarkan tentang deradikalisasi. 

About serambimata

Terus menulis

Posted on 9 Juni 2017, in Agama and tagged , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: