Menimbang Maslahat dan Mafsadat Fullday School 5 Hari di Sekolah
Serambimata.com – Di penghujung tahun pelajaran 2016-2017 publik dikejutkan dengan kabar kepastian akan diberlakukannya belajar sehari penuh di sekolah dengan hanya lima hari dari Senin hingga Jumat. Kepastian itu ditegaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan segera menerapkannya di tahun ajaran berikutnya 2017/2018. Kemendikbud beralasan, kebijakan itu merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang mengutamakan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.
Kontan saja keputusan kemendikbud tersebut mendapat respon beragam dari berbagai kalangan, ada yang mendukung namun tak sedikit yang menolaknya. Bagi mereka yang mendukung tentu alasannya tak jauh berbeda dengan sang penggagas kebijakan ini, Mendikbud, Muhajir Effendi yakni selain untuk memberikan ruang lebih pada penguatan karakter siswa melalui lima nilai tersebut di atas, alasan lainnya agar siswa lebih banyak waktu berkumpul bersama keluarga pada hari Sabtu dan Minggu.
Sedangkan bagi yang keberatan bahkan terang-terangan menolak kebijakan tersebut beralasan fullday school tak akan menyelesaikan masalah keruwetan pendidikan di Indonesia. Bahkan ia akan melahirkan masalah baru bagi persoalan pendidikan tanah air, mulai dari persoalan kesiapan siswa, orang tua, sarana sekolah dan dampak tak baik lainnya.
Bagi orang tua siswa di daerah yang kebanyakan kehidupan mereka sebagai petani, seharian penuh di sekolah bukanlah kabar baik. Mereka yang sudah tidak memiliki kesibukan sejak tengah hari akan bosan menunggu kedatangan anaknya. Bagaimana tidak, orang tua yang biasanya menyambut anak-anaknya dengan senyum dan telah banyak menyiapkan waktu dan kasih sayang untuk buah hatinya harus bersiap kehilangan momen indah itu. Sebaliknya, para orang tua akan menjumpahi anak-anaknya pulang dalam keadaan lelah setelah hampir seharian penuh berjibaku dengan pelajaran di sekolah
Dari sisi guru, terutama bagi guru yang tidak siap mental berada sepanjang hari di sekolah, mereka tidak akan punya pilihan kecuali harus lebih banyak menatap wajah anak-anak lain sementara anaknya sendiri memelas dirumah karena tak lagi banyak waktu bersama dengan keluarga seperti hari-hari sebelumnya. Bagi sebagian guru, libur Sabtu dan Minggu memang menjadi kesempatan baik dan panjang untuk menikmati liburan bersama keluarga. Tapi bagi guru lainnya (GTT/guru sukwan) yang harus bekerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, libur dua hari tidak akan berarti apa-apa.
Belajar memang tidak selalu identik dengan sekolah. Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter sehingga mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini. Teori ini sekaligus membantah salah satu alasan penerapan fullday school sebagai solusi atas minimnya pengawasan anak ketika ada di rumah karena orang tua sehari penuh bekerja.
Dari sisi ini sangat terasa kebijakan fullday school dengan lima hari di sekolah itu hanya mengadopsi pikiran masyarakat kota besar. Padahal Indonesia bukan Jakarta, daerah-daerah di tanah air juga tidak semuanya kota. Masih ada jutaan anak di negeri ini yang masih harus membantu orang tuanya sepulang sekolah. Fakta ini seharusnya juga dipikirkan oleh pemerintah.
Dan yang paling merasakan dampak buruk dari kebijakan yang digagas Mendikbud pengganti Anies Baswedan itu adalah lembaga-lembaga pendidikan diniyah yang selama ini waktu belajarnya dilaksanakan sore hari. Lembaga-lembaga yang banyak dikelola swasta bahkan tidak sedikit dibangun oleh swadaya masyarakat itu terancam gulung tikar karena tidak ada lagi waktu tersisa setelah seharian penuh siswa belajar di sekolah-sekolah umum. Bayangkan saja، untuk Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) misalnya, sebagai departementasi bidang pendidikan di Nahdlatul Ulama memiliki 12.780 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia. Tak sedikit dari ribuan sekolah dan madrasah itu beroperasi di siang dan sore hari.
Atas sederat dampak buruk dan merugikan, banyak pihak yang menyeru agar kebijakan di bidang pendidikan itu diurungkan. Tidaklah berlebihan bila beberapa hari terakhir muncul petisi agar kebijakan tersebut dibatalkan dengan 9 alasan berikut :
Pertama, aspek akademis. Sejumlah pakar psikologi dari beberapa perguruan tingi menyatakan bahwa “anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap belajarnya tidak maksimal, hanya 60 persen. Artinya, kalau kegiatan belajar mengajar sampai jam 16.00 maka keterserapan pelajaran pada anak besar kemungkinan tidak tercapai,”.
Kedua, aspek sarana dan parasara (sarpras). Bahwa harus diakui sarpras berupa musala, masjid maupun kantin di sekolah belum representatif. Bagaimana fasilitas sekolah yang tidak memadai tersebut akan digunakan untuk memfasilitasi kebutuhan ibadah sholat ataupun makan siang siswa-siswanya nanti.
Ketiga, aspek ekonomi, Jika kebijakan ini diterapkan, jam belajar yang panjang mengakibatkan beban orangtua untuk uang saku akan bertambah, bahkan bisa dua kali lipat dari hari biasanya. Pastinya akan ada kebutuhan untuk menambah uang untuk makan siswa. Jika sebelumnya makan siang bisa dirumah, maka kebijakan baru ini akan memaksa siswa makan disekolah.
Keempat, aspek keamananan, ketika siswa pulang sore hari tentu akan bertaruh dengan para pekerja di jalan raya, belum lagi sebagian siswa yang rumahnya tergolong jauh dari sekolah. Untuk sekolah di daerah pelosok yang masih sulit terakses angkutan umum, dan infrastruktur jalan seperti PJU yang buruk hal ini banyak yang dikawatirkan masyarakat, terlebih untuk anak perempuan di malam hari.
Kelima, aspek sosial. Jam sekolah yang panjang akan mengakibatkan semakin sedikitnya waktu untuk berinteraksi sosial dengan anggota keluarga serta tetangga di rumah. Saat pulang, anak didik pasti sudah merasa amat lelah dan ini akan merampas waktu bermain dan mengeksplorasi lingkungannya secara sehat.
Keenam, aspek kompetensi non akademik. Konsep lima hari sekolah, akan mempersempit peluang anak dalam meraih kecakapan non akademik. Semisal, anak yang memiliki keunggulan bidang seni, budaya, olahraga, yang biasanya mengembangkan bakatnya dengan les sore hari atau latihan rutin lainnya. dengan perubahan jam sekolah yang sangat panjang tentu tidak mungkin bisa mengikutinya.
Ketujuh aspek mental spiritual. Puluhan ribu madrasah diniyah (madin) dan TPQ, yang 90 persen siswanya adalah anak usia SD dan SMP. yang biasanya diselenggarakan pukul 14.00 atau 15:00 jika sekolah diberlakukan sampai sore maka praktis mereka tak bisa mengikutinya.
Kedelapan, aspek ketahanan ekonomi keluarga. Siswa yang berasal dari keluarga tak mampu, biasanya usai pulang sekolah selalu membantu orangtua, ada yang menjadi buruh tani, berdagang, nelayan, dan sebagainya.
Kesembilan, aspek sistem pendidikan. Secara lebih luas telah banyak dibuktikan para pakar pendidikan dunia bahwa jam pelajaran anak-anak Indonesia adalah salah satu yang terpanjang dibandiungkan dengan jam belajar anak sekolah lain di seluruh dunia, dengan hasil kompetensi yang relatif paling minim dibandingkan dengan hasil prestasi belajar di negara lain (cek benchmark PISA atau TIMMS).
Berdasarkan semua argumen di atas, maka kebijakan lima hari sekolah yang tak fundamental dan kurang strategis yang hendak diberlakukan oleh menteri pendidikan tersebut harus dibatalkan.
Kualitas pendidikan itu tidak ditentukan oleh lamanya belajar di sekolah. Pendidikan juga tak identik dengan persekolahan. Pendidikan jauh lebih luas dari persekolahan. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat.
Dari aspek sosiologis, mafsadat (keburukan) fullday school lebih banyak daripada maslahatnya (kebaikan). Sistem ini diyakini hanya akan menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Dampaknya, siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman. (Hans)
Posted on 13 Juni 2017, in Pendidikan and tagged fulldayschool, lima hari di sekolah, maslahat mafsadat fullday school, Mendikbud, plus minus fullday school. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0