Ulama dan Kiai Jatim Pernah Tolak Fullday School dan Sekolah Lima Hari
Serambimata.com – Pro kontra soal akan diterapkannya fullday school dan lima hari kerja oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi terus bergulir. Terakhir, munculnya surat edaran yang ditandangani Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Surat yang beredar luas di media tersebut berisi himbauan yang ditujukan kepada Bupati/Wali Kota di Jawa Timur untuk menunda Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017 tentang 5 hari di sekolah yang akan dimulai tahun pelajaran 2017/2018.
Sikap menolak terhadap penerapan Fullday School dan lima hari di sekolah ini sebenarnya bukanlah hal baru yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Pada tahun 1994 lalu, isu tersebut pernah digulirkan tapi urung diterapkan karena karena kuatnya penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari para Ulama, Kiai dan pimpinan Pondok Pesantren.
Adalah KHR Ach. Fawaid As’ad bersama 200 Ulama dan Kiai yang hadir dalam acara Haul Akbar ke-4 Al Marhumain, KHR Syamsul Arifin dan KHR As’ad Syamsul Arifin) mengeluarkan sikap menolak penerapan lima hari di Sekolah saat itu. Sikap penting dan menentukan terhadap masa depan pendidikan tanah air itu dimuat di harian Nasional Republika, 23 Oktober 1994.
Sikap tersebut dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangi 200 Ulama dan Kiai Se Jawa Timur. Para pimpinan Pondok Pesantren yang saat itu berkumpul di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo menyatakan keberatan dengan penerapan program lima hari di sekolah karena dipandang tidak efisien serta memberatkan murid dan orang tua.
Di dalam surat pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah melelui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) dan Departemen Agama (Depag) tersebut, terdapat lima butir penting yang mengungkap tentang dampak buruk program sehari penuh dan lima hari di sekolah.
Pertama, Madrasah Diniyah, TPQ dan TKA yang pembelajarannya dilaksanakan sore hari akan tergusur dengan sendirinya karena waktu belajat siswa sudah dihabiskan di sekolah.
Kedua, Jutaan anak dan remaja akan menjadi korban lantaran kurang mendapat siraman rohani dan tidak memiliki dasar-relegius yang mantab sebagai syarat terbentuknya manusia seutuhnya.
Ketiga, para murid akan menanggung beban dan resiko yang sangat berat.Keempat, Beban biaya orang tua akan semakin bertambah karena harus menambah uang saku dan bekal bagi anaknya.
Kelima, kondisi-kondisi tersebut akan semakin parah mengingat rendahnya kemampuan, kompentensi dan integritas rata-rata guru agama baik di SD, SLTP dan SLTA dalam mengulawentah siswa untuk menyuburkan dan menyirami ghirah ilahiah (naluri religius).
Belum lagi dampak moral dan sosial karena siswa berada hampir oleh penuh di sekolah. Oleh karena itu, di dalam pernyataan tersebut, 200 ulama dan Kiai meminta agar rencana lima hari di sekolah ditinjau kembali dan uji coba yang telah dilakukan segera dihentikan.
Tahun ini, di bawah kendali Muhajir Effendi, wacana fullday school dan lima hari di sekolah muncul kembali. Penolakanpun juga mengalir deras dari berbagai pihak dengan alasan yang tak jauh berbeda dengan sikap para Ulama, Kiai dan pimpinan Pondok se Jawa Timur pada tahun 1994 lalu (hans).
Posted on 18 Juni 2017, in Pendidikan and tagged Fullday School, Kiai Jawa Timur, lima hari di sekolah, Mendikbud, Muhajir Effendi, penolakan fullday School, penolakan lima hari sekolah, Ulama Jawa Timur. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0