Memahami Wahabi dan Salafi
Oleh: DR. KH. As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU Periode 2010-2015)
Serambimata.com – Sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU), pengikut Wahabi atau Salafi juga menganggap sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sebaliknya pengikut NU seringkali juga menggunakan istilah salafi untuk menunjukkan kesetiannya terhadap ajaran para imam mazhab. Soal siapa yang termasuk Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai, setiap kelompok mengaku paling benar. Namun tulisan ini tidak akan membahas hal itu, tetapi memusatkan bahasan pada isitilah salafi dikaitkan dengan isu kekinian, radikalisme dan terorisme.
Mereka yang mengikuti ajaran Mohammad bin Abdul Wahab umumnya disebut sebagai Wahabi. Di negara asalnya, biasanya di sebut “muwahidun” dan menolak disebut Wahabi. Dalam Islamperkembangannya, Muwahidun kemudian sering disebut Salafi karena dianggap mengikuti praktek keagamaan generasi sahabat, tabiin dan tabiut tabiin. Istilah salafi juga diberikan kepada pengikut Mohammad Abduh dan Rasyid Redlo yang mempelopori “gerakan pembaruan Islam” pada abad XIX. Meskipun keduanya disebut Salafi, terdapat perbedaan mencolok antara Salafi model Abduh dengan Salafi model Wahabi.
Keduanya merujuk pada Al Quran-Hadits dan menolak madzhab, tetapi berbeda soal orientasi. Abduh berorientasi kemajuan Islam dengan melakukan reformasi pemikiran, sedangkan Wahabi dalam rangka menghidupkan kembali tradisi keagamaan pada era permulaan sejarah Islam.
Tulisan ini hanya membahas perkembangan Salafi/Wahabi mulai dari Salafi puritan, Salafi politik, sampai Salafi Jihadi yang menjadi akar ideologi gerakan terorisme global.
Pertama adalah Salafi Puritan atau Wahabi: Salafi jenis ini merupakan ajaran keagamaan resmi yang dianut di Arab Saudi sejak tahun 1932. Sebagai aliran agama resmi Kerajaan Arab Saudi berdasarkan kesepakatan antara Mohammad bin Saud penguasa Diriyah (dekat kota Riyadh) di Nejd dengan Mohammad bin Abdul Wahab, pendiri ajaran Muwahidun pada abad XVIII. Keduanya saling mendukung, Ibnu Saud akan melindungi dakwah Salafi, sedangkan Mohammad bin Abdul Wahab akan taat kepada Ibnu Saud sampai pada keturunannya.
Inti ajaran Momammad bin Abdul Wahab adalah pemurnian ajaran Islam dari bid’ah, khurafat dan tahayul dengan merujuk pada pendapat Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayum serta pendapat Imam Hambali. Ciri utama wahabi atau salafi puritan adalah bersifat textual, berbeda dengan pandangan NU yang menempatkan nash dengan akal secara seimbang.
Berdasarkan tekstualisme ini, maka kehidupan keagamaan harus mengacu kepada praktek dan tradisi keagaman pada generasi awal sejarah Islam. Sebagai konsekwensinya, ormas dan orpol diharamkan karena dianggap bid’ah, para ulama dilarang mengikuti politik dan menyerahkannya kepada Raja.
Hubungan baik ulama dengan keluarga Raja menjadi jaminan stabilitas sosial dan politik sehingga meskipun terkadang terjadi perbedaan pandangan antara ulama dengan umaro’ senantiasa diselesaikan dengan baik melalui sistem yang baku. Para ulama wahabi disamping diwadahi dalam Majelis Shura (lembaga konsultasi), juga memegang otoritas keagamaan (fatwa) yang dijabat para keturunan Mohammad bin Abdul Wahab.
Diluar wahabi terdapat jenis salafi puritan lainnya yang berbeda yang diajarkan oleh Nashiruddin Albani. Pada mulanya Nashirudin Albani mendirikan jamaah yang disebut “jamaah al Salafiyah Al Muhtasib” pada 1980-an dan sejak itu istilah salafi melekat dengan ajaran Wahabi. Meskipun ajarannya mirip dengan wahabi resmi pemerintah Arab Saudi, tetapi Albani menegasikan atau menolak semua pemikiran mazhab. Sedangkan Wahabi Arab Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hambali.
Pemurnian ajaran Islam ala Albani menjadi lebih luas mencakup fenomena modernisasi, baik yang dihasilkan tekonogi atau perilaku dan paham pemikiran. Televisi, foto manusia dan komuditas teknologi modern lainnya adalah bid’ah sehingga kategorinya menjadi sangat luas. Salafi ala Albani, mengangkat semangat tekstualisme yang sangat kuat, sehingga pendekatannya lebih radikal dibanding Wahabi resmi Arab Saudi. Pusat dakwah Salafi ala Albani berada di Yordania dan sebagaimana Wahabi,juga mempunyai pengikut di Indonesia. Keduanya tidak berpolitik dan tidak mempunyai organisasi formal tetapi melaksanakan dakwah melalui instrumen hubungan guru dan murid (semacam alumi pesantren).
Kedua Salafi Sururi atau Salafi Politik; Pengaruh politik mulai masuk kedalam ajaran Salafi atau Wahabi secara perlahan sejak tahun 1960-an sebagai dampak dari perkembangan geo-politik regional yakni persaingan antara kaum nasionalis kiri yang dipimpin okeh Gamal Abdul Nasser melawan kekuatan monarkhi yang dipimpin Raja Faisal. Arab Saudi menampung para aktivis Islam yang diusir dari Mesir, Syria dan Iraq . Sebagian besar adalah tokoh Ikhwanul Muslimin antara lain Mohammad Qutb dari Mesir dan Said Hawa dari Syria. Para Ulama tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan perguruan tinggi di negara itu. Sejak saat itu, mulailah berlangsung transformasi gagasan politik Ikhwanul Muslimin kedalam generasi muda Arab Saudi yang secara diam–diam membentuk gerakan Al-Sahwa Al Islamiah atau gerakan kebangkitan Islam.
Pamerintah Saudi pada mulanya tidak menduga munculnya pengaruh negatif yang mengakibatkan munculnya Salafi Sururi atau Salafi politik yang merupakan pengingkaran doktrin Wahabi yang bersifat non politik. Perang Teluk melawan Iraq menjadi penyulut munculnya Salafi politik secara terbuka, karena memprotes kebaijakan pemerintah Saudi yang mengundang pasukan Amerika Serikat dan sekutu Barat untuk membantu melawan Iraq. Tokoh utamanya adalah Mohammad Surur bin Zaenal Abidin, sehingga salafi politik juga sering juga disebut Salafi Sururi. Otoritas ulama Wahabi dibawah Abdul Aziz bin Baz menganggap Mohammad Sururi telah keluar dari Salafi karena tidak taat kepada pemerintah dan demikian pula pendukungnya,sehingga pemerintah mengusir Mohammad Surur hijrah ke Birmingham,Inggris dan melalui Yayasan Al Muntadha mendakwahkan salafi ke negara lain termasuk ke Indonesia. Sururi tidak sendirian karena ia menjalin kerjasama dengan Abdurahman Abdul Khaliq yang juga dikeluarkan dari Salafi puritan dan kemudian mendirikan Yayasan Ihya’ut At Turost di Kuwait.
Keduanya membentuk grup salafi internasional yang dikenal dengan Salafi Sururiyah dengan didukung sejumlah ulama lain yang diusir dari Arab Saudi. Jadilah Salafi Sururi bersaing dengan Salafi Puritan dalam konteks global termasuk di Indonesia. Jangan heran,keduanya saling menolak keabsahan predikat salafi masing masing.
Ketiga Salafi Jihadi; Kaum Salafi Jihadi terbentuk dalam proxy war antara Blok Barat vs Blok Timur sewaktu perang Dingin . Arab Saudi membantu blok Barat untuk mengusir komunis Uni Soviet dari Afganistan dengan cara memobilisir kaum radikal Islam seluruh dunia sebagai sukarelawan. Amerika Serikat, Arab Saudi dan Pakistan selain memberikan latihan militer, juga melakukan indoktrinasi Jihad (qital) kepada para sukarelawan tersebut. Setelah perang usai, mereka tersebar keseluruh dunia dan menjadi jaringan terorisme global termasuk di Indonesia. Salafi jenis ini juga berseberangan dengan Salafi Puritan dan Salafi politik dan hal ini akan dibahas dalam tulisan berikutnya.
Sumber : satunusanews
Posted on 10 Juli 2017, in Politik and tagged KH. As'as Said Ali, mengenal Wahabi, salafi, sejarah salafi, sejarah wahabi, Wahabi, wahabi Salafi. Bookmark the permalink. 1 Komentar.
sebenarnya salafi itu termasuk aliran sesat apa bukan ya?? terlalu banyak informasi jadi bingung untuk menjadikan pegangann yg mana sih yg seharusnya untuk dijadikan pegangan.
SukaSuka