Hukum Investasi Dana Haji Untuk Infrastruktur (Hasil Bahtsul Masail Ma’had Aly Sukorejo)
Serambimata.com – Bahtsul Masail Tingkat Regional Jawa Timur menyikapi polemik rencana penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintah akhirnya usai. Bahstul Masail yang di gelar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo bekerjasama dengan Kementrian Agama Republik Indonesia dan Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (AMALI) tersebut menghasilkan ketetapan hukum dan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan institusi terkait.
Berikut hasil lengkap rumusan hasil Bahtsul Masail tentang investasi dana haji untuk pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan mulai tanggal 12 hingga 13 Agustus 2017. Dikutip dari mahad-aly.sukorejo.com.
Deskripsi Masalah
Animo masyarakat untuk menunaikan ibadah haji semakin hari semakin meningkat. Hal ini berdampak pada banyaknya calon haji waiting list yang harus menunggu antrian yang sangat panjang, yakni 20 tahun semenjak pendaftaran.
Pendaftaran sebagai calon haji harus disertai dana awal sebesar 25 juta yang disetorkan ke rekening atas nama BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) yang bertindak sebagai wakil yang sah dari calon jemaah haji pada kas haji melalui BPS BPIH (Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Haji). (Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 34, tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji)
Terjadinya antrian yang panjang menyebabkan dana awal yang mereka setorkan tidak langsung dimanfaatkan sehingga terjadi penumpukan dana. Dana tersebut merupakan salah satu sumber dari Dana Haji selain dana efisiensi penyelenggaran haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam. (Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 34, tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji)
Akumulasi Dana Haji, yang mencapai angka 95,2 triliun berdasarkan audit tahun 2016, adalah dana yang potensial berkembang, sementara membiarkannya mengendap adalah tindakan mubazir. Oleh karena itu, undang-undang mengamanatkan pengelolaan Dana Haji yang antara lain adalah investasi dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas. (Pasal 48 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 34, tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji)
Pada momen pelantikan anggota Badan Pengelola Kuangan Haji (BPKH) Presiden Jokowi melemparkan ide agar Dana Haji bisa diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur. Gagasan tersebut hingga saat ini menjadi kontrovesi karena sekian orang menilai Dana Haji tidak bisa diinvestasikan ke sektor infrastruktur dengan berbagai macam argumentasi mulai permasalahan nama akad transaksi, bagaimana tepatnya pembagian imbal hasil, hingga investasi tersebut dinilai bertentangan dengan undang-undang. (Kompas, 26/07/2017)
Pertanyaan:
- Menurut pandangan Fikih, siapa pemilik sah Dana Haji tersebut?
- Apakah pemerintah, dalam hal ini BPKH, boleh menginvestasikan Dana Haji? Kalau boleh termasuk akad apa?
- Apa hukum menginvestasikan Dana Haji untuk pembangunan infrastruktur?
- Bagaimana distribusi imbal hasil dari investasi Dana Haji yang sesuai dengan hukum Fikih?
- MUQODDIMAH
الآيات القرآنية
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)} [النساء: 58]
{وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)} [المائدة: 2]
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)} [المائدة: 1]
{وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (152)} [الأنعام: 152]
{إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (105)} [النساء: 105]
{وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)} [البقرة: 188]
{قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (24)} [ص: 24]
الأحاديث والأثار
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَلِيٌّ، فَاشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “. رواه البيهقي
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَقُولُ اللَّهُ: «أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا». رواه الحاكم
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: ” إِنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إِنِ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ , فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ، وَإِنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ “. رواه البيهقي
عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَعْطَاهُ دِينَارًا لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِهِ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، فَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، وَكَانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ “. رواه البيهقي
قَالَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ: ” لَوْ مَاتَتْ سَخْلَةٌ عَلَى شَاطِئِ الْفُرَاتِ ضَيْعَةً لَخِفْتُ أَنْ أُسْأَلَ عَنْهَا “. رواه البيهقي.
المبادئ العامة فى المعاملات المالية والقواعد الأصولية
الأَصْلُ فِى الْمَعَامَلاَتِ وَالْعُقُوْدِ الإِباَحَةُ
الْعِبْرَةُ فِى التَّصُرَّفَاتِ مُرَاعَاةُ الْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لاَ الْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي
الْمَالُ لَا يَلِدُ الْمَالَ وَءاِنَّمَا يَلِدُهُ الْعَمَلُ.
التَّعَادُلُ فِى التَّبَادُلِ.
الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ.
وُجُوْدُ الرِّضَا بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ.
وُجُوْدُ الْمَنْفَعَةِ
عَدَمُ الرِّبَا.
عَدَمُ الْغَرَرِ.
عَدَمُ الضَّرَرُ.
عَدَمُ الْغَبْنِ الْفَاحِشِ.
- PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Menurut pandangan Fikih, siapa pemilik sah Dana Haji tersebut?
Dan haji terkait dengan kepemilikan terbagi menjadi dua. Pertama, milik sah calon jemaah haji, yaitu BPIH yang dibayarkan kepada BPKH untuk memenuhi semua kebutuhan calon jemaah haji. Dana tersebut tidak terlepas dari kepemilikan calon jemaah haji karena belum ada faktor yang menyebabkan perpindahan kepemilikan. Kedua, milik publik (malullah), yaitu selain dana yang tersebut di atas, yang terdiri dari dana efisiensi penyelenggaran haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat.
2. Apakah pemerintah, dalam hal ini BPKH, boleh menginvestasikan Dana Haji? Kalau boleh termasuk akad apa?
Sejak mendaftarkan diri, calon jemaah haji telah memberi kuasa kepada pemerintah (BPKH) untuk bertransaksi dengan pihak ketiga menyangkut pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan ibadah haji. Ini berarti telah terjadi akad wakālah antara calon jemaah haji dengan pemerintah untuk menggunakan BPIH. BPIH yang belum dibayarkan oleh pemerintah kepada pihak ketiga bisa disebut sebagai dana titipan (wadī‘ah) di rekening BPKH. Akan tetapi apabila BPIH dikelola/diinvestasikan oleh BPKH dengan persetujuan calon jemaah dengan ketentuan bagi hasil, maka pada hakikatnya akad itu bukan lagi akad wadī‘ah, melainkan akad muḍārabah (akad bagi hasil); calon jemaah haji sebagai ṣāḥib al-māl (pemilik modal) dan BPKH sebagai muḍārib (pengelola). Posisi BPKH terkait dengan pengelolaan dana haji memiliki dua kemungkinan. Pertama, hanya sebagai mediator antara calon haji dengan pihak lain. Dalam posisi seperti ini, BPKH tidak berhak mendapat bagian keuntungan. Kedua, selain sebagai mediator BPKH berposisi sebagai muḍārib awwal, sedangkan pihak ketiga sebagai muḍarib tsaniy. Masing-masing mendapat bagian dari keuntungan berdasarkan kesepakatan.
Jika transaksi antara calon jemaah haji dan BPKH menyangkut pengelolaan BPIH dianggap akad wakālah, maka keuntungan dari pengelolaan BPIH sepenuhnya menjadi hak milik calon jemaah haji. Sebagai pemilik sah, calon jemaah haji berhak tidak menyetujui pengelolaan. Konsekuensinya, mereka harus membayar penuh ONH sekitar Rp. 60.000.000,-.
Adapun dana yang telah menjadi milik publik, pemerintah boleh mengelola dan menginvestasikannya tanpa persetujuan jemaah haji dan calon jemaah haji.
Pengelolaan BPIH yang merupakan milik calon jemaah haji harus memenuhi syarat-syarat yang mengacu pada kemaslahatan mereka. Sedangkan dana haji yang menjadi milik publik, pengelolaannya harus memenuhi syarat-syarat yang mengacu kepada kemaslahan umat secara keseluruhan. Syarat itu antara lain adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat dan maslahat bagi umat, dan likuiditas.
3. Apa hukum menginvestasikan Dana Haji untuk pembangunan infrastruktur?
Jika investasi dana haji pada sektor pembangunan infrastruktur diyakini aman, bermanfaat dan maslahat bagi umat, dan memenuhi skala prioritas, serta akadnya memenuhi prinsip-prinsip syari’at dalam mu’amalah, maka boleh. Ini artinya bahwa pemerintah dalam mengelola dana haji harus menempuh kebijakan yang paling maslahat bagi umat.
4. Bagaimana distribusi imbal hasil dari investasi Dana Haji yang sesuai dengan hukum Fikih?
Berhubung akad kerjasama antara calon jemaah haji dan BPKH menyangkut pengelolaan dana mereka merupakan akad muḍārabah, maka harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak tentang pembagian keuntungan dengan menggunakan prosentase; berapa persen untuk calon jemaah haji dan berapa persen untuk BPKH. Dengan demikian, ada kemungkinan calon jemaah haji tidak perlu lagi melakukan pelunasan.
- REKOMENDASI
Berdasarkan rumusan jawaban terhadap as’ilah di atas, maka perlu dibuat rekomendasi kepada pihak-pihak terkait:
- Rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia
- Membuat Badan Usaha Milik Negara berupa Bank Tabungan Haji yang dapat menerima setoran BPIH dan mengelola Dana Haji, baik untuk investasi maupun yang lain.
- Membentuk badan atau lembaga keuangan yang dapat mengelola Keuangan Haji secara langsung, baik untuk investasi maupun yang lain.
- Rekomendasi kepada DPR:
Meninjau kembali peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dana haji, sehingga dipastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dana haji bersifat syar’iy.
- Rekomendasi kepada BPKH
- Menginvestasikan keuangan haji ke badan-badan usaha milik negara, sehingga bagian keuntungan (profit sharing) sepenuhnya kembali ke negara.
- Transparan dalam pengelolaan keuangan haji, sehingga bisa dipantau dan diawasi oleh publik.
- Mempertegas dan menyebutkan pembagian keuntungan antara calon jemaah haji sebagai investor di satu sisi dan dengan BPKH sebagai mudlarib/wakil di sisi yang lain.
- Rekomendasi kepada Dit. PDH, Dirjen PHU dan Kemenag RI:
- Membuat dan mensosialisasikan SOP penyetoran BPIH secara merata.
- Mengawal, mengawasi, dan memastikan bahwa SOP tersebut telah dilakukan oleh aparat dan pelaksana dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
- Mengawal, mengawasi, dan memastikan bahwa setiap atau sekelompok calon jemaah haji telah mengetahui, menyadari, menyepakati transaksi yang dilakukan.
الْمَرَاجِعُ/Daftar Pustaka
المسألة الأولى
(رد المحتار على الدر المختار 5/ 298 ط إحياء التراث)
اعْلَمْ أَنَّ أَسْبَابَ الْمِلْكِ ثَلاثَةٌ: نَاقِلٌ كَبَيْعٍ وَهِبَةٍ وَخِلافَةٌ كَإِرْثٍ وَأَصَالَةٌ، وَهُوَ الاسْتِيلاءُ حَقِيقَةً بِوَضْعِ الْيَدِ أَوْ حُكْمًا بِالتَّهْيِئَةِ كَنَصْبِ الصَّيْدِ لا لِجَفَافٍ عَلَى الْمُبَاحِ الْخَالِي عَنْ مَالِكٍ، فَلَوْ اسْتَوْلَى فِي مَفَازَةٍ عَلَى حَطَبِ غَيْرِهِ لَمْ يَمْلِكْهُ وَلَمْ يَحِلَّ لِلْمُقَلِّشِ مَا يَجِدُهُ بِلا تَعْرِيفٍ، وَتَمَامُ التَّفْرِيعِ فِي الْمُطَوَّلاتِ.
(الأشباه والنظائر لابن نجيم 346 ط مؤسسة الحلبي)
الْقَوْلُ فِي الْمِلْكِ 1 – قَالَ فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ: الْمِلْكُ قُدْرَةٌ يُثْبِتُهَا الشَّارِعُ ابْتِدَاءً عَلَى التَّصَرُّفِ، فَخَرَجَ نَحْوُ الْوَكِيلِ (انْتَهَى). 2 – وَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ: إلا لِمَانِعٍ كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَالِكٌ وَلا قُدْرَةَ لَهُ عَلَى التَّصَرُّفِ، وَالْمَبِيعُ الْمَنْقُولُ مَمْلُوكٌ لِلْمُشْتَرِي وَلا قُدْرَةَ لَهُ عَلَى بَيْعِهِ قَبْلَ قَبْضِهِ. وَعَرَّفَهُ فِي الْحَاوِي الْقُدْسِيِّ بِأَنَّهُ الاخْتِصَاصُ الْحَاجِزُ وَأَنَّهُ حُكْمُ الاسْتِيلاءِ لأَنَّهُ بِهِ يَثْبُتُ لا غَيْرُ، إذْ الْمَمْلُوكُ لا يَمْلِكُ كَالْمَكْسُورِ لا يَنْكَسِرُ لأَنَّ اجْتِمَاعَ الْمِلْكَيْنِ فِي مَحِلٍّ وَاحِدٍ 3- فَلا بُدَّ وَأَنْ يَكُونَ الْمَحَلُّ الَّذِي ثَبَتَ الْمِلْكُ فِيهِ خَالِيًا عَنْ الْمِلْكِ، وَالْخَالِي عَنْ الْمِلْكِ هُوَ الْمُبَاحُ 4 -وَالْمُثَبِّتُ لِلْمِلِكِ فِي الْمَالِ الْمُبَاحِ الاسْتِيلاءُ لا غَيْرُ إلَى آخِرِهِ وَفِيهِ مَسَائِلُ: الأُولَى: أَسْبَابُ التَّمَلُّكِ: الْمُعَاوَضَاتُ الْمَالِيَّةُ وَالأَمْهَارُ وَالْخُلْعُ وَالْمِيرَاثُ وَالْهِبَاتُ وَالصَّدَقَاتُ وَالْوَصَايَا 5 -وَالْوَقْفُ وَالْغَنِيمَةُ وَالاسْتِيلاءُ عَلَى الْمُبَاحِ وَالإِحْيَاءِ، وَتُمْلَكُ اللُّقَطَةُ بِشَرْطِهِ، وَدِيَةُ الْقَتِيلِ يَمْلِكُهَا أَوَّلا ثُمَّ تُنْقَلُ إلَى الْوَرَثَةِ، وَمِنْهَا الْغُرَّةُ يَمْلِكُهَا الْجَنِينُ فَتُورَثُ عَنْهُ، وَالْغَاصِبُ إذَا فَعَلَ بِالْمَغْصُوبِ شَيْئًا أَزَالَ بِهِ اسْمَهُ وَعَظَّمَ مَنَافِعَ مِلْكِهِ وَإِذَا خَلَطَ الْمِثْلِيَّ بِمِثْلِيٍّ بِحَيْثُ لا يَتَمَيَّزُ مِلْكُهُ
المسألة الثانية
(بدائع الصنائع 6/ 95 ط المكتبة العلمية ـ بيروت)
(وَأَمَّا) الْقِسْمُ الَّذِي لِلْمُضَارِبِ أَنْ يَعْمَلَهُ إذَا قِيلَ لَهُ : اعْمَلْ بِرَأْيِكَ وَإِنْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ , فَالْمُضَارَبَةُ وَالشَّرِكَةُ وَالْخَلْطُ , فَلَهُ أَنْ يَدْفَعَ مَالَ الْمُضَارَبَةِ مُضَارَبَةً إلَى غَيْرِهِ، وَأَنْ يُشَارِكَ غَيْرَهُ فِي مَالِ الْمُضَارَبَةِ شَرِكَةَ عِنَانٍ، وَأَنْ يَخْلِطَ مَالَ الْمُضَارَبَةِ بِمَالِ نَفْسِهِ، إذَا قَالَ لَهُ رَبُّ الْمَالِ: اعْمَلْ بِرَأْيِكَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَعْمَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَقُلْ لَهُ ذَلِكَ أَمَّا الْمُضَارَبَةُ فَلأَنَّ الْمُضَارَبَةَ مِثْلُ الْمُضَارَبَةِ وَالشَّيْءُ لا يَسْتَتْبِعُ مِثْلَهُ، فَلا يُسْتَفَادُ بِمُطْلَقِ عَقْدِ الْمُضَارَبَةِ مِثْلُهُ، وَلِهَذَا لا يَمْلِكُ الْوَكِيلُ التَّوْكِيلَ بِمُطْلَقِ الْعَقْدِ كَذَا هَذَا . (وَأَمَّا) الشَّرِكَةُ فَهِيَ أَوْلَى أَنْ لا يَمْلِكَهَا الْعَقْدُ لأَنَّهَا أَعَمُّ مِنْ الْمُضَارَبَةِ، وَالشَّيْءُ لا يَسْتَتْبِعُ مِثْلَهُ، فَمَا فَوْقَهُ أَوْلَى. (وَأَمَّا) الْخَلْطُ فَلأَنَّهُ يُوجِبُ فِي مَالِ رَبِّ الْمَالِ حَقًّا لِغَيْرِهِ، فَلا يَجُوزُ إلا بِإِذْنِهِ، وَإِنْ لَمْ يَقُلْ لَهُ ذَلِكَ، فَدَفَعَ الْمُضَارِبُ مَالَ الْمُضَارَبَةِ مُضَارَبَةً إلَى غَيْرِهِ فَنَقُولُ: لا يَخْلُو مِنْ وُجُوهٍ، إمَّا أَنْ كَانَتْ الْمُضَارَبَتَانِ صَحِيحَتَيْنِ، وَإِمَّا أَنْ كَانَتَا فَاسِدَتَيْنِ، وَإِمَّا أَنْ كَانَتْ إحْدَاهُمَا صَحِيحَةً وَالأُخْرَى فَاسِدَةً.
نهاية المطلب في دراية المذهب (7/ 495-396)
فصل قال: “وإذا قارض العاملُ بالمال … إلى آخره” (1). 4918 – إذا جرى قراض صحيح وتسلّم العاملُ المالَ، وأراد أن يقارض رجلاً آخر، نظر: فإن فعل ذلك بغير إذن رب المال، لم يكن له هذا، فإنّ إقامة العامل غيرَه مقامَ نفسه مستقلاً بذاته تتنزَّل منزلةَ نَصْب الوصي وصياً، على معنى إقامته غيرَه مقام نفسه في جميع ما هو منوطٌ به، وهذا يمتنع في الوصاية المطلقة، وكذلك يمتنع أن ينصب الوصي بعد موت نفسه وصياً، إذا لم يثبت له ذلك، والوكيل في الشغل الخاص لا ينصب وكيلاً؛ فالمقارَض إذا نصب مقارَضاً، بمثابة الوكيل في الشغل الخاص ينصب وكيلاً، ثم إذا أفسدنا ذلك من العامل، فليس قولنا فيه على قياس قولنا في فساد القراض الصادر من المالك، وسبب الفساد إخلالٌ بشرط، فإنا ننفذ تصرفَ العامل (2) بناء على إذن المالك، و [نرد] (3) أثر الفساد إلى غرض القراض، والعاملُ إذا نصب عاملاً من غير إذن المالك لم ينفذ (4) تصرف العامل الثاني؛ فإنه ليس مأذوناً من جهة المالك، وتصرُّفُه في مال القراض -ولا إذن من المالك- كتصرف الغاصب، وسنعود إلى ذلك الآن في أثناء الفصل، إن شاء الله. 4919 – هذا إذا قارض العامل رجلاً من غير إذنٍ من المالك. فأما إذا أذن المالك للمقارَض الأول أن يقارض رجلاً، فهذا ينقسم معناه: فإن أراد بهذا الإذن أن ينسلخ المقارَضُ عن حكم القراض، وينتهض وكيلاً في معاملة إنسان، فهذا جائز، والمقارَض الأول إذا أراد ذلك في حكم السفير عن المالك، وحكم القراض بين المالك والعامل الثاني، ولا يجوز والمسألةُ مفروضةٌ كذلك أن يشترط المقارَض الأولُ لنفسه شيئاًً من (1) الربح؛ إذا (2) لم يعمل؛ فإنَّ استحقاق الربح يترتب على ملك رأس المال، أو على عملٍ فيه، ولم يوجد من الأول ملْكٌ ولا عملٌ، فشرْطُ شيءٍ من الربح له بمثابة شرط جزء من الربح لأجنبي، وقد أوضحنا فساد ذلك فيما تقدم، وإن كان يعتقد جوازَ شرْط شيء من الربح له؛ من حيث إنه يسعى في تحصيل العمل بنصب العامل، فهذا طمعٌ في غير مطمع؛ فإنّ ربح القراض لا يستحق إلا بعمل القراض، وليس نصبُ المقارَض من عمل القراض، وقد حققنا هذا في أركان القراض. هذا وجهٌ في تصوير صدور الإذن من المالك في نصب عامل آخر، وقد يُتصور ذلك على وجهٍ آخر، وهو أن يعامل المالك رجلاً والربح بينهما نصفان، ثم يقول للعامل: إن أردت أن تشرك مع نفسك عاملاً، وتجعل ما شرطتُ لك من الربح بينك وبينه على ما تتوافقان عليه [فافعل] (3)، فالذي أشار إليه اختيار الأئمة أن ذلك ممتنع؛ فإنه لو جاز ذلك، لكان العامل الثاني فرعَ الأوّل، والأولُ ليس مالكاً لشيءٍ من رأس المال، ونصيب العامل على ما سيثبُتُ من الربح ليس على موجَب الشرع، وهذه معاملة يضيق فيها مجال القياس، ووضْعُ القراض على أن يكون أحد المتعاقدين مالكاً لرأس المال لا عمل من جهته، والثاني صاحبُ عملٍ لا ملك من جهته. ومن أصحابنا من جوز القراض بإذن المالك على هذه الصورة (1)، وقال: كأن المالك نصب مقارَضَيْن في ابتداء الأمر، ولو فعل ذلك، لم يمتنع، وربما نذكر ذلك [مشروحاً] (2) في الفروع، إن شاء الله تعالى. ثم من جوّز هذا [يفرض] (3) الأمرَ في اشتراكهما في العمل؛ فأما أن يفوِّض أحدُهما العملَ بكلّيته إلى الثاني ويطمع في شيء من (4) الربح، فلا سبيل إليه أبداً؛ لما صورناه؛ فإن استحقاق الربح من غير ملك، ولا عمل محالٌ. هذا قولٌ كُلِّيٌّ في تصوير الإذن من المالك في مقارضة العامل رجلاً آخر.
(روضة الطالبين ص 132، الجزء 132)
وان أذن ( له ) في أن يعامل غيره ليكون ذلك الغير شريكا له فى العمل والربح المشروط له على ما يراه فقيل يجوز كمقارضة شخصين ابتداء والأصح المنع وإن قارض بغير إذن المالك فهو فاسد ويجيء فيه قول وقف عقد الفضولي على الاجازة فإذا قلنا بالمشهور فتصرف الثاني في المال وربح ….
فتح العزيز شرح الوجيز – (11 / 49)
قال (ولو سلم إليه دينارا ليشترى شاة فاشترى شاتين تساوى كل واحدة منهما دينارا وباع احداهما بدينار ورد الدينار والشاة فقد فعل هذا عروة البارقى مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فدعا له فهو صحيح على أسد القولين. وفى بيع الشاة خلاف ظاهر. وتأويل الحديث أنه لعله كان وكيلا مطلقا).
صور المسألة أن يسلم دينارا إلى وكيله ليشترى له شاة ووصفها فاشترى الوكيل شاتين بتلك الصفة بدينار فينظر إن لم تساوى كل واحدة منهما دينارا لم يصح الشراء للموكل وان زادتا معا على الدينار لانه ربما يبغى شاة تساوى دينارا فان كانت كل واحدة منهما تساوى دينارا فقولان (أصحهما) صحة الشراء وحصول الملك فيهما للموكل لانه اذن له في شراء شاة بدينار فإذا اشترى شاتين كل واحدة منهما تساوى دينارا بدينار فقد زاد خيرا مع تحصيل ما طلبه الموكل فأشبه ما إذا أمره ببيع شاة بدرهم فباعها بدرهمين أو يشترى شاة بدرهم فاشتراهما بنصف درهم (والثانى) أنه لا تقع الشاتان معا للموكل لانه لم يأذن الا في شراء واحدة ولكن ينظر ان اشتراها في الذمة فللموكل واحدة بنصف دينار والاخرى للوكيل ويرد على الموكل نصف دينار وللموكل أن ينزع الثانية منه ويقرر العقد فيهما لانه عقد العقد له وان اشتراهما بعين الدينار فكأنه اشترى واحدة باذنه واخرى بغير اذنه فينبنى على أن العقود هل تتوقف على الاجازة (ان قلنا) لا تتوقف بطل العقد في واحدة وفى الثانية قولا تفريق الصفقة (وان قلنا) تتوقف فأن شاء الموكل أخذهما بالدينار وان شاء اقتصر على واحدة ورد الاخرى على المالك والقول في وضعه مشكل لان تعيين واحدة للموكل أو بطلان العقد فيهما ليس باولى من الاخرى والتخيير مشبه بما إذا باع شاة من شاتين على أن يتخير المشترى وهو باطل
المغني شرح الكبير الجزء الخامس ص : 162
وإن قال اعمل برأيك أو بما أراك الله جاز له دفعه مضاربة نص عليه لأنه قد يرى أن يدفعه إلى أبصر منه ويحتمل أن لا يجوز له ذلك لأن قوله اعمل برأيك يعني في كيفية المضاربة والبيع والشراء وأنواع التجارة وهذا يخرج به عن المضاربة فلا يتناوله إذنه.
المغني شرح الكبير الجزء الخامس ص : 162
وإن أذن رب المال في دفع المال مضاربة جاز ذلك نص عليه أحمد ولا نعلم فيه خلافا ويكون العامل الأول وكيلا لرب المال في ذلك فإذا دفعه إلى آخر ولم يشترط لنفسه شيئا من الربح كان صحيحا وان شرط لنفسه شيئا من الربح لم يصح لأنه ليس من جهته مال ولا عمل والربح إنما يستحق بواحد منهما.
المبسوط الجزء الثاني عشر ص : 102 الحنفية
ولو دفع إلى رجل مالا مضاربة بالنصف وقال له اعمل برأيك فالمضارب بهذا اللفظ يملك الخلط والشركة والمضاربة في المال لأن ذلك كله من رأيه وهو من صنيع التجار.
المسألة الثالثة
(الفقه الإسلامي وأدلته، ص 350-351، الجزء 6، دار الفكر، الطبعة الرابعة)
وأملاك بيت المال (أو وزارة المالية، أو الحكومة) لا يصح بيعها إلا برأي الحكومة لضرورة أو مصلحة راجحة، كالحاجة إلى ثمنها، أو الرغبة فيها بضعف الثمن ونحوها لان أموال الدولة كأموال اليتيم عند الوصي لا يتصرف فيها إلا للحاجة أو المصلحة، قال الخليفة عمر رضي الله عنه: أنزلت نفسي من بيت مال المسلمين بمنزلة وصي اليتيم.
الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 122)
وَمِنْ الْعَدْلِ: تَقَدُّمُ الْأَحْوَجِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْن مُتَسَاوِي الْحَاجَاتِ فَإِذَا قَسَمَ بَيْنَهُمَا، وَدَفَعَهُ إلَيْهِمَا عَلِمْنَا أَنَّ اللَّهَ مَلَّكَهُمَا قَبْلَ الدَّفْعِ. وَأَنَّ الْقِسْمَةَ إنَّمَا هِيَ مُعَيِّنَةٌ لِمَا كَانَ مُبْهَمًا، كَمَا هُوَ بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ وَبَدَرَ أَحَدُهُمَا وَاسْتَأْثَرَ بِهِ، كَانَ كَمَا لَوْ اسْتَأْثَرَ بَعْضُ الشُّرَكَاءِ بِالْمَاءِ الْمُشْتَرَكِ، لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ. قَالَ: وَنَظِيرُ ذَلِكَ مَا ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ فِي بَابِ التَّيَمُّمِ: أَنَّهُ لَوْ وَرَدَ اثْنَانِ عَلَى مَاءٍ مُبَاحٍ وَأَحَدُهُمَا أَحْوَجُ، فَبَدَرَ الْآخَرُ وَأَخَذَ مِنْهُ: أَنَّهُ يَكُونُ مُسِيئًا.
الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 121)
[الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ: تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ]
ِ هَذِهِ الْقَاعِدَةُ نَصَّ عَلَيْهَا الشَّافِعِيُّ وَقَالَ ” مَنْزِلَةَ الْإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَة الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ “. قُلْت: وَأَصْلُ ذَلِكَ: مَا أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ. قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللَّهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ “.
وَمِنْ فُرُوعِ ذَلِكَ أَنَّهُ إذَا قَسَّمَ الزَّكَاةَ عَلَى الْأَصْنَافِ يُحَرَّمُ عَلَيْهِ التَّفْضِيلُ، مَعَ تَسَاوِي الْحَاجَاتِ. وَمِنْهَا: إذَا أَرَادَ إسْقَاطَ بَعْضِ الْجُنْدِ مِنْ الدِّيوَان بِسَبَبٍ: جَازَ، وَبِغَيْرِ سَبَبٍ لَا يَجُوزُ حَكَاهُ فِي الرَّوْضَةِ.
وَمِنْهَا: مَا ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ مِنْ وُلَاةِ الْأُمُورِ أَنْ يُنَصِّبَ إمَامًا لِلصَّلَاةِ فَاسِقًا، وَإِنْ صَحَّحْنَا الصَّلَاةَ خَلْفَهُ ; لِأَنَّهَا مَكْرُوهَةٌ. وَوَلِيُّ الْأَمْرِ مَأْمُورٌ بِمُرَاعَاةِ الْمَصْلَحَةِ، وَلَا مَصْلَحَةَ فِي حَمْلِ النَّاس عَلَى فِعْل الْمَكْرُوهِ.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ إذَا تُخَيِّرَ فِي الْأَسْرَى بَيْن الْقَتْل، وَالرِّقِّ، وَالْمَنّ وَالْفِدَاءِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ بِالتَّشَهِّي بَلْ بِالْمَصْلَحَةِ. حَتَّى إذَا لَمْ يَظْهَرْ وَجْهُ الْمَصْلَحَةِ يَحْبِسُهُمْ إلَى أَنْ يَظْهَرَ.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ الْعَفْوُ عَنْ الْقِصَاصِ مَجَّانًا ; لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَصْلَحَةِ، بَلْ إنْ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِي الْقِصَاصِ اقْتَصَّ، أَوْ فِي الدِّيَة أَخَذَهَا.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ امْرَأَةً بِغَيْرِ كُفْءٍ، وَإِنْ رَضِيَتْ ; لِأَنَّ حَقَّ الْكَفَاءَة لِلْمُسْلِمِينَ، وَهُوَ كَالنَّائِبِ عَنْهُمْ، فَلَا يَقْدِرُ عَلَى إسْقَاطِهِ.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ لَا يُجِيزُ وَصِيَّةَ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ الثُّلُثِ.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقَدِّمَ فِي مَالِ بَيْتِ الْمَالِ غَيْرَ الْأَحْوَجِ عَلَى الْأَحْوَجِ.
روضة الطالبين وعمدة المفتين (11/ 135)
فرع – ليقدم من كل نوع من ذلك الأهم فالأهم، وإن عرضت حادثة وهو مشغول بهذه المهمات استخلف من ينظر في تلك الحالة أو فيما هو فيه.
قواعد الاحكام فى مصالح الانام جز 2 ص : 75 ابن عبد السلام دار الكتب العلمية
يتصرف الولاة ونوابهم فيما ذكرنا من التصرفات بما هو الاصلح للمولى عليه درأ للضرر والفساد وجلبا للنفع والرشاد ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الآصلح الا ان يؤدى الى مشقة شديدة ولايتخيرون فى التصرف حسب تخيرهم فى حقوق انفسهم مثل ان يبيعوا درهما بدرهم او مكيلة زبيب بمثلها لقوله تعالى “ولاتقربوا مال اليتيم الا بالتى هى أحسن” وان كان هذا فى حقوق اليتامى فأولى ان يثبت فى حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الائمة من الاموال العامة لان اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة وكل تصرف جر فسادا او دفع صلاحا فهو منهى عنه.
المسألة الرابعة
(بدائع الصنائع 6/ 107 ط المكتبة العلمية ـ بيروت)
وَالثَّانِي، مَا يَسْتَحِقُّهُ الْمُضَارِبُ بِعَمَلِهِ فِي الْمُضَارَبَةِ الصَّحِيحَةِ وَهُوَ الرِّبْحُ الْمُسَمَّى إنْ كَانَ فِي الْمُضَارَبَةِ رِبْحٌ.
(بدائع الصنائع 6/ 108 ط المكتبة العلمية ـ بيروت)
(وَأَمَّا) الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ رَبُّ الْمَالِ، فَالرِّبْحُ الْمُسَمَّى إذَا كَانَ رِبْحٌ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلا شَيْءَ لَهُ عَلَى الْمُضَارِبِ، هَذَا كُلُّهُ حُكْمُ الْمُضَارَبَةِ الصَّحِيحَةِ.
(فتح القريب ص 96)
(و) الثالث (أن يشرط له) أي يشرط المالك للعامل (جزءا معلوما من الربح) كنصفه أو ثلثه، فلو قال المالك للعامل قارضتك على هذا المال على أن لك فيه شركة أو نصيبا منه فسد القراض، أو على أن الربح بيننا ويكون الربح نصفين.
تحفة الحبيب على شرح الخطيب ـ مشكول – (8 / 437)
( و ) الشرط الثالث وهو الركن الخامس ( أن يشترط ) المالك ( له ) أي للعامل في صلب العقد . ( جزءا ) ولو قليلا ( معلوما ) لهما ( من الربح ) بجزئيته كنصف أو ثلث ، فلا يصح القراض على أن لأحدهما معينا أو مبهما من الربح ، أو أن لغيرهما منه شيئا لعدم كونه لهما .
الفقه الإسلامي الجزء الخامس صحـ 581
وأما شروط الربح فهي ما يأتي أولاً أن يكون الربح معلوم القدر لأن المعقود عليه أو المقصود من العقد هو الربح وجهالة المعقود عليه توجب فساد العقد وإذا دفع شخص لآخر ألف درهم على أن يشتركا في الربح ولم يبين مقدار الربح جاز العقد ويكون الربح بينهما نصفين لأن الشركة تقتضي المساواة كما في قوله تعالى “فَهُمْ شُرَكاء ُفي الثلث” [النساء:12/ 4] حالة فساد المضاربة وحالة فساد الشرط فقط عند الحنفية: إن كان هناك شرط يؤدي إلى جهالة الربح فسدت المضاربة، لاختلال المقصود من العقد: وهو الربح وإن كان الشرط لا يؤدي إلى جهالة الربح يبطل الشرط ويصح القعد. مثل أن يشترط المالك أن تكون الخسارة على المضارب أو عليهما، فالشرط يبطل ويبقى العقد صحيحاً، والخسارة تكون على المالك في مال المضاربة. والسبب في أن شرط الخسارة عليهما شرط فاسد: هو أن الخسارة تعتبر جزءاً هالكاً من المال فلا يكون إلا على رب المال، لا أنه يؤدي إلى جهالة الربح فيؤثر في العقد فيجعله فاسداً.
الفقه الإسلامي الجزء الخامس صحـ 582
ثانياً ـ أن يكون الربح جزءاً مشاعاً: أي نسبة عشرية أو سهماً من الربح، كأن يتفقا على ثلث أو ربع أو نصف، وهذا مستثنى من حكم الإجارة المجهولة؛ لأن جواز عقد المضاربة كان للرفق بالناس، فإذا عين المتعاقدان مقداراً مقطوعاً محدداً، بأن شرطا مثلاً أن يكون لأحدهما مئة دينار أو أقل أو أكثر، والباقي للآخر، فلا يصح هذا الشرط، والمضاربة فاسدة؛ لأن المضاربة تقتضي الاشتراك في الربح، وهذا الشرط يمنع الاشتراك في الربح، لاحتمال ألا يربح المضارب إلا هذا القدر المذكور، فيكون الربح لأحدهما دون الآخر فلا تتحقق الشركة وبالتالي لايكونا لتصرف مضاربة
المعاملات المالية المعاصرة في الفقه الإسلامي ص: 302
المضاربة المشتركة تقوم على أساس استمرارية الشركة لان من صفقاتها ما تنتهي بسنة ومنها ما يحتاج إلى أكثر من سنة وربما إلى سنوات ولذلك لا يمكن تصور عودة رأس المال إلى صاحبها نقودا بعد سنة لكي يجري اقتسام الربح المتبقي على نحو ما هو مقرر في أصول القسمة في المضاربة القردية ومن أبرز معالم الاستمرارية في المضاربة المشتركة : أ – جبران الخسارة في المضاربة الأولى بالربح في المضاربة الثانية . ب – توزيع الربح يناط بالزمن أي بالتوقيت لا بالتنضيض على الأصل ولذلك يمكن أن يصار إلى التنضيض التقديري في كل سنة لاحتساب الأرباح وهو أمر مقرر ومفروغ منه لدى المؤسسات الاستثمارية الجماعية
Mushahhih : KH. Ach. Azaim Ibrahimy
KH. Afifuddin Muhajir
KH. Zainul Mu’in Husni
Perumus. : KH. Ach. Muhyiddin Khotib,M.H.I
KH. Dr. Abd. Jalal, M.Ag.
Moderator : Ust. Khairuddin Habzis, M.H.I
Notulen : Abdul Wahid, M.H.I
Izzul Madid, M.Pd.
Muhamad Risqil Azizi, M.H.I
Posted on 18 Agustus 2017, in Tak Berkategori. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0