Fullday School Dibatalkan, Madrasah Diniyah Menuai Harapan 

Serambimata.com – Akhirnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah tak bisa diteruskan setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagaimana tercantum dalam lembaran negara nomor 195/2017 tanggal 6 September 2017, sebagai bagian dari upaya negara menjaga Pancasila dan NKRI. Permendikbud yang sempat menuai pro kontra tersebut batal dengan sendirinya setelah ditandanganinya Perpres oleh Presiden, Rabu (6/9/2017) di Istana Negara Jakarta. 

Dalam Perpres pengganti Permendikbud tersebut menyebutkan pemerintah tak lagi mewajibkan sekolah 8 jam sehari, tapi tak melarangnya dengan memberi kebebasan kepada sekolah untuk memilih mekanisme lima hari atau enam hari sekolah untuk mewujudkan PPK. Artinya boleh 5 hari di sekolah namun tak lagi mewajibkan 8 jam sehari. Hal itu dijelaskan dalam pasal 16 ayat 2 dan pasal 17.

Pasal 16 ayat 2 menyatakan: “Satuan pendidikan formal yang telah melaksanakan PPK melalui 5 (lima) hari sekolah yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini masih tetap berlangsung.”

Dan inilah episode akhir dari polemik fullday school atau lima hari di sekolah degan 8 jam sehari. Perpres 87/2017 tentang PPK menyebabkan Permendikbud 23/2017 gugur dengan  sendirinya dan Penguatan Pendidikan Karakter juga bisa diselenggarakan enam hari sekolah dalam seminggu. Hal itu sesuai dengan pasal 17 dalam Perpres yang menyatakan: “Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku.”

Kendati tidak ada larangan menerapkan lima hari di sekolah, namun perpres tersebut menyebutkan bila sekolah tetap memilih melaksanakan lima hari sekolah, maka harus diputuskan oleh satuan pendidikan dengan komite sekolah dengan mempertimbangkan ketercukupan guru dan tenaga kepandidikan, ketersediaan saran dan prasarana, kearifan lokal, dan pendapat tokoh masyarakat dan atau tokoh agama di luar komite sekolah.

Pasal 9 ayat 3 dalam Perpres yang menyatakan: “Dalam menetapkan 5 (lima) hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan pendidikan dan Komite/Sekolah Madrasah mempertimbangkan: a) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; b) ketersediaan sarana dan prasarana; c) kearifan lokal; dan d) pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.”

Secercah Harapan untuk Madrasah Diniyah.

Terbitnya Perpres nomor 87 tahun 2017 tak hanya mengubah mengubah aturan jam sekolah, tapi juga menjadi angin segar bagi eksistensi Madrasah Diniah dan pesantren yang selama ini kebanyakan kegiatan pembelajaran di siang hari. Dalam Perpres tersebut, keberadaan Madrasah Diniyah (Madin) dan pendidikan keagamaan lain diakui Presiden Jokowi merupakan lembaga yang turut menjadi instrumen pendidikan karakter.

Perpres yang berisi tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tersebut tentu dibutuhkan oleh Madrasah Diniyah. Sebab, Perpres itu dinilai menguatkan substansi yang ada di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang pengaturan integritas madrasah diniyah ke dalam penguatan pendidikan karakter. Di dalamnya Negara mengakui bahwa keberadaan Madrasah Diniyah (Madin) dan pendidikan keagamaan lain merupakan lembaga yang turut menjadi instrumen pendidikan karakter.

Oleh karena itu,  Madin bukan hanya harus mendapat dukungan dari pemerintah, lebih dari itu, dengan sendirinya negara turut bertanggung jawab untuk penguatan madin baik melalui alokasi anggaran (APBN dan APBD) maupun berbagai regulasi untuk penguatannya.

Sehingga Madin dan lembaga keagamaan lainnya sebagai lembaga pembentuk karakter bangsa tidak akan lagi menjadi lembaga yang hidup seadanya, dikelola swadaya serta gurunya digaji apa adanya. 
Kemendikbud sebagai penyelenggara sekolah umum harus bersinergi dengan Kementerian Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan madrasah dan diniyah, termasuk dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang sudah sejak lama bahkan sejak NKRI belum berdiri telah menyelenggarakan model penguatan pendidikan karakter melalui pesantren.   

Kerja Keras NU Perjuangkan Madin



Terbitnya Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tidak bisa lepas dari hasil dari perjuangan para kiai dan warga NU. Bukan tanpa alasan, karena faktanya hanya NU yang secara terbuka sejak awal melakukan penolakan di mana-mana.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tak bosan-bosannya berjuang keras dalam menolak Permendikbud 23 yang kemudian dibatalkan oleh Perpres itu. Kiai Said bahkan intens berjuang melalui komunikasi dan pertemuan intensif dengan Presiden.

Menurut sumber terpercaya, untuk mewujudkan keinginannya mewakili warga NU seluruh Indonesia, Kiai asal Cirebon itu bertemu presiden tidak kurang dari tiga kali dan sekali dengan Wapres untuk meminta Permendikbud dibatalkan. Upaya itu dilakukan karena kecintaan dirinya dan warga NU terhadap madrasah diniyah dan pesantren demi kaum Nahdliyin, bukan karena menterinya dari Muhammadiyah. Untuk membuktikan statemennya, orang nomor satu di NU itu menegaskan “sekalipun menterinya dari NU, ia akan menolak jika kebijakan itu ngotot dilakukan. (Hans)

About serambimata

Terus menulis

Posted on 8 September 2017, in Pendidikan and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: