Kepahlawanan Kiai As’ad, Pohon Mangga dan Trilogi Pesantren Sukorejo

KHR Ahmad Azaim Ibrahimy saat memberikan sambutan pada acara Sukorejo bersholawat untuk bangsa (foto: koleksi Syamsul Arifin)
Serambimata.com – Ada banyak kisah yang tesingkap di balik kebesaran nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Bahkan kisah-kisah itu menyejarah dan menjadi bagian yang sangat penting bagi pembangunan nilai, budaya dan peradaban bangsa. Tidak hanya tentang kepahlawanan KHR As’ad Syamsul Arifin yang begitu monumental, atau tentang dikukuhkannya Pancasila sebagai asas tunggal di pesantren ini, hal-hal kecil lainnya yang sepintas tidak terlalu penting ternyata menyimpan kisah yang sarat dengan pesan dan hikmah.
Konon, pondok pesantren yang ada di ujung timur pulau jawa ini dulu banyak ditumbuhi pohon besar dan tinggi. Pohon-pohon itu bahkan menjadi ciri khas pesantren yang didirikan oleh KHR Syamsul Arifin, mulai dari pohon kelapa, duwet, mimbo (pohon soekarno) hingga pohon mangga. Tidak tahu pasti apakah pohon-pohon itu sengaja ditanam atau tumbuh dengan sendirinya karena dalam sejarahnya pesantren Sukorejo dulunya adalah hutan belantara.
Kecuali pohon mangga, pohon yang satu ini dipastikan memang sengaja ditanam terutama di halaman “dhalem”, sebutan bagi kediaman pengasuh dan keluarga besar Pondok Pesantren. Persis di depan dhalem Kiai As’ad tumbuh pohon mangga “Gadhung” besar. Namun seiring berjalannya waktu, pohon tersebut ditebang saat pembangunan kediaman puteranya, KHR Ahmad Fawaid As’ad.
Bagi Kiai As’ad, pohon mangga tak hanya sekedar bisa dinikmati buahnya dan berfungsi menaungi halaman dari terik panas matahari karena pohonnya yang besar dan rindang, pohon ini juga menjadi tempat penyimpanan ari-ari putera mahkota beliau, Kiai Fawaid. Konon, hal itu dilakukan sebagai tafa’ulan (pengharapan) agar kelak puteranya memiliki derajat yang tinggi. Tidak hanya itu, menurut sumber terpercaya, pada masa kepemimpinan Kiai Syamsul terdapat pohon mangga yang saat itu menjadi tempat para santri membaca tarhim karena saat itu belum ada pengeras suara.
Hingga kini, pohon yang menjadi ikon dan produk unggulan kabupaten Situbondo masih tumbuh di halaman dhalem pengasuh dan di beberapa sudut pesantren bahkan menurut Pengasuh ke-4 Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, satu diantara pohon mangga yang tumbuh dikediamannya usianya lebih tua dari cucu Kiai As’ad itu.
Pohon mangga tak hanya manis dan segar buahnya, tumbuh rindang di halaman-halaman rumah serta berbagai manfaat lainnya. Sebagaimana pohon lainnya, pohon mangga memiliki nilai filosofi yang tinggi bagi kebesaran nama Pahlawan Nasional KHR As’ad Syamsul Arifin, estafet kepemimpinan, trilogi pesantren, bahkan bagi kehidupan manusia. Hal itu disampaikan Kiai Azaim pada acara Sukorejo Bersholawat untuk Bangsa mengenang Kepahlawanan Kiai As’ad bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, Kamis lalu (09/10/2017).
Dalam pandangan Kiai Azaim, kebesaran kekeknya, Kiai As’ad hingga tahun 2016 lalu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tidak lepas dari peran dan jasa sosok ayah yang kuat, tegas dan pemberani, KHR. Syamsul Arifin yang telah membesarkan dan mengantarkannya menjadi sosok yang yang sangat diperhitungkan.
“Tentu kesuksesan seorang Kiai Asad tidak bisa dipisahkan dari seorang ayah. Ayahandanya Kiai Ibrahim atau Kiai Syamsul Arifin yang secara lahir bathin mendo’akan, riyadhah dan tirakat untuk mencetak seorang generasi bernama Kiai As’ad”, ungkap Kiai Azaim dalam sambutannya mengawali acara Sukorejo bersholawat bersama Habib Syech.
Ibarat buah mangga yang matang, segar dan manis rasanya, ia hanya bisa dihasilkan dari pohon yang kuat setelah sekian lama tertanam melalui akar yang kuat pula. Akar bagian dari tumbuhan yang tumbuh, berkembang dan menjalar ke dalam tanah. Akar selalu bekerja siang dan malam mencari air dan nutrisi yang ada di dalam tanah, yang hasilnya dibutuhkan oleh batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah. Setelah tumbuhan mendapatkan air dan nutrisi, maka tumbuhan akan tumbuh menjadi besar dan rindang.
Akar mengajarkan keteladanan tentang keikhlasan dan kesabaran. Meskipun ia tak pernah tampak bahkan tak pernah disebut sebagaimana pohon, ranting dan buah yang tampak kuat, rindang dan segar tapi akar memiliki arti yang sangat besar bagi kehidupan yang ada di luar. Akar terus bekerja tak kenal waktu tanpa henti demi batang, dahan, ranting dan buah.
Kendati begitu, buah tak boleh melupakan bahwa ia tumbuh besar karena kekuatan ranting, sebagaimana kesadaran bahwa dirinya tak bisa lepas dari peran dan jasa batang pohon dan akar yang telah mengantarkannya menjadi buah yang manis dan segar sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang. Dan inilah kiranya yang dimaksud hadist Nabi SAW yang disinggung Kiai Azaim pada sambutannya malam itu, Kiai muda itu mengatakan bahwa bakti seorang anak kepada orang tua akan menentukan bentukan generasi berikutnya.
“Teringat sabda Nabi, birru aba’akum tabirrokum abna’ukum, kalau kita berbakti kepada orang tua kita, in sya Allah anak cucu kita akan menjadi generasi yang terbaik. Ibarat buah mangga yang ranum, manis dan besar buahnya, ia tumbuh dari batang dan pohon yang kuat, pohon yang kuat tumbuh dari akar yang kuat. Artinya hari ini kita merasakan kesuksesan, jangan lupa di sana ada jasa kedua orang tua, guru dan orang-orang yang telah mengantarkan kita menjadi sukses”, ujar menantu al Marhum al Maghfurlah KHR Ach. Fawaid As’ad itu.
Kendati begitu, menurut murid Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki itu, perjuangan Kiai As’ad tidak akan berkelanjutan jika tidak ada generasi berikutnya, khairu kholaf lilkhairi salaf. Maka Kiai As’ad telah berhasil mencetak seorang generasi kuat yakni (Alm) KHR Ahmad Fawad As’ad. Itulah trilogi Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyh Sukorejo Situbondo. Tidak hanya ketokohan Kiai As’ad, tapi ada generasi awal yang telah berjasa dan generasi selanjutnya yang terus memperjuangkan dan melanjutkan nikmat yang telah dianugerahkan.

Dari kanan: KHR. Syamsul Arifin, KHR As’ad Syamsul Arifin, KHR Ahmad Fawaid As’ad dan KHR Ahmad Azaim Ibrahimy (Foto: koleksi Ainun Najib)
Selain pohon mangga, di masa kepemimpinan Kyai Syamsul juga terdapat pohon kelapa yang melegenda. Konon, pohon kelapa yang dimaksud menjadi tempat pertapa’an Kiai Syamsul pada saat puteranya Kiai As’ad sedang mondok. Hal itu dilakukannya sebagian bentuk ritual dan do’a untuk keberhasilan sang anak dalam mencari ilmu di jalan Allah.
Alkisah, ketika Kiai As’ad pulang ke Sukorejo, ia sempat ditegur oleh ibu tirinya, Nyai Saidah, “mak la mule be’na cong, jhe’reng abana ghi’ tak toron dheri kan nyiur se napae be’na”, (kok sudah pulang kamu nak?, ayahmu masih belum turun dari pohon kelapa yang bertapa untukmu).
Di usianya yang sudah cukup tua, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, telah banyak menorehkan sejarah. Pesantren ini bahkan telah menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah dalam pembangunan peradaban dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Penerimaan asas tunggal Pancasila yang dikukuhkan pada Muktamar NU ke-27 pada tahun 1984, peran Kiai As’ad di dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai As’ad menjadi saksi kebesaran pesantren yang didirikan tahun 1908 Masehi oleh KHR. Syamsul Arifin. (Hans)
Posted on 17 November 2017, in Politik, Sosial and tagged Ahmad Azaim Ibrahimy, dakwah Kiai Azaim, gelar pahlawan nasional Kiai Asad, Kiai As'ad Syamsul Arifin, Kiai Asad, Kiai Syamsul Arifin, pahlawan nasional, Pesantren Sukorejo, trilogi pesantren sukorejo. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0