Kegagalan dalam Bersyukur itu Bernama “Merasa”
Serambimata.com – “Jika kalian bersyukur niscaya Aku tambah (nikmat-Ku) pada kalian, dan bila kalian mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azab-Ku sangat pedih”, QS. Ibrahim (14): 7. Firman Allah swt. yang mengingatkan hambaNya untuk senantiasa bersyukur itu kerap kita baca dan kita dengar, seakan syukur mudah diterapkan semudah lisan mengucapkan. Padahal, syukur itu soal hati dan soal bagaimana kemampuan mengaplikasikan syukur itu dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya banyak para pemilik hati ketika sedang berusaha memaksimalkan syukur bahkan mungkin sudah hampir berada di puncak syukur justru berakhir dengan kegagalan dalam bersyukur. Kegagalan yang disebabkan oleh rasa dan ketidak mampuan mengendalikan dan mengelola hati.
Dalam pandangan KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy, bersyukur adalah ikhtiar mempertahankan yang ada dan memaksimalkannya. Sedangkan rasa syukur yang paling tinggi adalah menyadari kekurangan diri sendiri lalu mengelolanya menuju keadaan yang lebih baik untuk semakin mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkannya. Sebaliknya, Keadaan dimana seseorang tidak menyadari kekurangan dirinya justru menyebabkan ia terjebak pada keadaan “merasa” sudah bersyukur. Maka ketika rasa itu yang muncul, disitulah sebenarnya ia telah mengalami kegagalan dalam bersyukur bahkan bisa jadi ia telah su’ul adab kepada Nabi karena merasa lebih baik darinya.
“Bersyukur itu mempertahankan yang ada, syukur yang paling tinggi adalah menyadari kekurangan diri. Tapi ketika diri merasa sudah bersyukur maka disitulah sebenarnya kegagalan dalam bersyukur bahkan ia termasuk su’ul adab kepada Nabi karena merasa telah melampaui kebaikan Nabi (su’ul adab)”, mata Kiai Azaim dalam sebuah acara Majelis Dzikir Basmalah yang digelar rutin setiap 40 hari sekali oleh pemuda-pemuda Sukorejo, Sabtu (18/11/2017).
Kiai muda yang dikenal dekat dengan hampir semua lapisan itu juga menyampaikan kiat dan tips agar hati khusuk sehingga dapat meresapi apa yang diucapkan ketika berzdikir kepada Allah swt.
“Jika ada yang berdzikir tapi tidak mampu meresapi dan merasakan apa-apa, kosong. Maka kelolalah ia menjadi sebuah kekawatiran. Tapi bila masih belum bisa karena mati rasa maka beristighfarlah sebelum berdzikir untuk membuka hijab/penghalang yang menutupi hati. Bertaubatlah”, harapnya.
Dengan menganalogikan rasa pada makanan, Kiai azaim mangajak ratusan jamaah zdikir yang berkumpul malam itu untuk merenung ketika makan tapi merasa tidak enak. Cucu Kiai As’ad itu mengingatkan untuk tidak terburu-buru menyalahkan makanannya karena bisa jadi ada yang salah dengan lidah atau indra rasa yang dimilikinya. Demikian pula ketika berdzikir, jika tidak bisa merasakan apapun ketika berzdikir maka jangan salahkan zdikirnya, bisa jadi ada yg salah dengan diri dan hatinya.
“Maka dengan zdikir basmalah diharapkan dapat memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain sehingga dapat melahirkan kepekaan diri dalam beriteraksi dengan Allah dan sosialnya”, pungkas Kiai Azaim sebelum memimpin acara Zdikir bersama hingga dini hari. (Hans)
Posted on 19 November 2017, in Hikmah and tagged Ahmad Azaim Ibrahimy, dakwah Kiai Azaim, definisi syukur, Dzikir, Dzikir Basmalah, makna bersyukur. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0