Rela Dimaki demi Menyembunyikan Amal dan Kebaikannya
Di Solo, dulu ada seorang habib yang kaya tapi hidup sederhana. Ia tidak suka berpolitik, tetapi memilih hidup sederhana, menjalankan usaha pabrik batiknya, ibadah secara tawadhu’, dan membantu banyak orang secara diam-diam.
Namanya Muhammad bin Abdullah Alaydrus. Banyak tamu datang setiap hari, pagi sampai malam ke rumahnya, di seberang RS Kustati, Jalan Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon. Habib selalu menjamu tetamunya makan minum. Banyak tamu lelaki dari luar kota sering menginap di rumahnya.
Saking seringnya tamu menginap, ia sengaja membangun paviliun kecil khusus buat tamu di bagian depan rumahnya. Bagian ‘rumah kecil’ itu dilengkapi kamar mandi yang terpisah dari bangunan utama, sehingga kaum wanita sohibul-bait tak akan terganggu oleh tetamu yang menginap.
Lokasi rumahnya hanya sekitar 300 meter dari Masjid Assegaf, tempat Habib Syech Abdulqadir Assegaf sejak kecil dulu sering mengaji. (Di Masjid itu dulu ayah Habib Syech, Habib Abdulkadir, yang menjadi Imam Masjid, wafat ketika sedang sujud).
Sang habib sendiri secara rajin melayani mereka saat makan siang, makan malam, atau kadang ketika ngopi ‘majlas‘ di sore hari, sambil bersama-sama mengkaji kitab agama seperti Diwan , dan sebagainya.
Selalu mengenakan sarung, pengusaha kaya dengan belasan anak itu tampil sangat bersahaja. Sehingga sepintas orang yang belum mengenalnya tidak akan menyangka bahwa Muhammad sebenarnya orang kaya. Tetapi bagi penduduk di Pasar Kliwon Solo itu, nyaris tidak ada yang tidak tahu bahwa pemilik pabrik tekstil itu sangat disegani karena sikapnya yang rendah hati.
Suatu ketika seorang miskin, sebutlah namanya Amir, datang meminta bantuan kepadanya. Saat itu sedang banyak tamu di rumah sang habib. Beliau menolak memberi Amir. Maka Amir pun uring-uringan, mengumpat sang habib. Kepada banyak orang di berbagai tempat ia terus menjelek-jelekkan Habib Muhammad sebagai “ bachil, pelit , ” dan berbagai sumpah serapah lain.
Alkisah, Amir sendiri selama bertahun-tahun mendapat kiriman beras dari seseorang yang tidak pernah mau disebut namanya. Agen penyalur beras juga tidak mau mengatakan siapa sebenarnya yang mengirimkan beras kepada Amir pada tiap awal bulan.
Tiba-tiba iriman beras berhenti. Amir mendatangi agen penyalur beras, dia menagih, “Kenapa kok bulan ini tidak ada kiriman lagi?”
Penjual beras menjawab, “Karena yang biasa memberimu beras itu sudah meninggal dunia sebulan lalu.”
Sumber: Dutaislam.com
Posted on 11 Januari 2018, in Hikmah and tagged hikmah sedekah, Kisah Hikmah, kisah teladan, Muhammad bin Abdullah Alaydrus, sedekah. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0