Rela Dimaki demi Menyembunyikan Amal dan Kebaikannya

(Gambar: Hidatullah.com)

Serambimata.com – Banyak kisah yang menginspirasi tentang perjalanan hidup, kecerdasan, keilmuan dan akhlaq mulia. Kisah-kisah itu diajarkan langsung melalui tutur dan lembut bahasanya serta haliahnya sebagai cerminan bagi kehidupan dan kebaikan-kebaikan lainnya. Rasulullah SAW sendiri yang memperkenalkan tata cara berkata-kata dan bersikap dengan akhlaq terpuji, lalu diteruskan oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it-tabiin hingga para Ulama sebagai pewaris para Nabi. 

Di Solo, dulu ada seorang habib yang kaya tapi hidup sederhana. Ia tidak suka berpolitik, tetapi memilih hidup sederhana, menjalankan usaha pabrik batiknya, ibadah secara tawadhu’, dan membantu banyak orang secara diam-diam.

Namanya Muhammad bin Abdullah Alaydrus. Banyak tamu datang setiap hari, pagi sampai malam ke rumahnya, di seberang RS Kustati, Jalan Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon. Habib selalu menjamu tetamunya makan minum. Banyak tamu lelaki dari luar kota sering menginap di rumahnya.

Saking seringnya tamu menginap, ia sengaja membangun paviliun kecil khusus buat tamu di bagian depan rumahnya. Bagian ‘rumah kecil’ itu dilengkapi kamar mandi yang terpisah dari bangunan utama, sehingga kaum wanita sohibul-bait tak akan terganggu oleh tetamu yang menginap.

Lokasi rumahnya hanya sekitar 300 meter dari Masjid Assegaf, tempat Habib Syech Abdulqadir Assegaf sejak kecil dulu sering mengaji. (Di Masjid itu dulu ayah Habib Syech, Habib Abdulkadir, yang menjadi Imam Masjid, wafat ketika sedang sujud).

Sang habib sendiri secara rajin melayani mereka saat makan siang, makan malam, atau kadang ketika ngopi ‘majlas‘ di sore hari, sambil bersama-sama mengkaji kitab agama seperti Diwan , dan sebagainya.

Selalu mengenakan sarung, pengusaha kaya dengan belasan anak itu tampil sangat bersahaja. Sehingga sepintas orang yang belum mengenalnya tidak akan menyangka bahwa Muhammad sebenarnya orang kaya. Tetapi bagi penduduk di Pasar Kliwon Solo itu, nyaris tidak ada yang tidak tahu bahwa pemilik pabrik tekstil itu sangat disegani karena sikapnya yang rendah hati.

Suatu ketika seorang miskin, sebutlah namanya Amir, datang meminta bantuan kepadanya. Saat itu sedang banyak tamu di rumah sang habib. Beliau menolak memberi Amir. Maka Amir pun uring-uringan, mengumpat sang habib. Kepada banyak orang di berbagai tempat ia terus menjelek-jelekkan Habib Muhammad sebagai “ bachil, pelit , ” dan berbagai sumpah serapah lain.

Alkisah, Amir sendiri selama bertahun-tahun mendapat kiriman beras dari seseorang yang tidak pernah mau disebut namanya. Agen penyalur beras juga tidak mau mengatakan siapa sebenarnya yang mengirimkan beras kepada Amir pada tiap awal bulan.

Tiba-tiba iriman beras berhenti. Amir mendatangi agen penyalur beras, dia menagih, “Kenapa kok bulan ini tidak ada kiriman lagi?”

Penjual beras menjawab, “Karena yang biasa memberimu beras itu sudah meninggal dunia sebulan lalu.”

Sumber: Dutaislam.com 

Iklan

About serambimata

Terus menulis

Posted on 11 Januari 2018, in Hikmah and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: