Kiai Afifuddin: Agama dan Negara Saling Membutuhkan
Serambimata.com – Acara bedah buku Fiqih Tata Negara karya KH. Afifuddin Muhajir yang digelar di Aula Pondok Pesantren Salafiyah, Jumat (12/01/2017) mejadi acara bedah buku yang kesekian kalinya setelah sebelumnya acara yang sama juga digelar di beberapa daerah, mulai Jember, Madura hingga di luar Jawa.
Yang berbeda kali ini, selain diikuti mayoritas santri Pondok Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, acara yang digagas santri Ma’had Aly Sukorejo tersebut menghadirkan nara sumber pembanding, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr Nurul Ghufron.Dalam kesempatan itu, KH. Afifuddin Muhajir mengupas tuntas seluruh isi bukunya mulai soal hubungan antara agama dan negara, NKRI, Kepemimpinan hingga Islam Nusantara.
“Di dalam buku yang saya tulis ini banyak hal yang dibicarakan, tetapi pada kesempatan ini tidak semuanya bisa disampaikan. Antara lain yang mungkin saya sampaikan adalah hubungan antara agama dan negara, status negara dalam pandangan Islam, mekanisme pemilihan pemimpin dan Islam Nusantara”. Kata kiai Afif memulai paparannya.
Tentang hubungan antara agama dan negara serta status negara dalam pandangan Islam, wakil pengasuh Pesantren Sukorejo itu menjelaskan, bahwa antara agama dan negara saling membutuhkan atau simboisis mutualisme.
“Kenapa agama membutuhkan negara?, karena tanpa negara, tujuan syari’at atau maqosidus syari’ah tidak akan tegak. Perlindungan terhadap kehormatan manusia, akal sehat manusia, harta, kehormatan dan seterusnya tidak akan terwujud tanpa kehadiran negara”, jelasnya.
Tidak hanya agama butuh negara, menurut mantan Katib Syuriah NU itu, negara juga butuh agama. Karena tanpa agama, kesejahteraan sesugguhnya yang menjadi cita-cita negara tidak akan tercapai.
“Kenapa negara memerlukan agama?, karena apabila negara ini diselenggarakan tanpa bimbingan agama, maka meskipun bisa menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan tapi kesejateraan dan kemakmuran yang sesungguhnya (kebahagian batin) tidak akan tercapai. Kesejahteraan yang tidak memiliki nuasa ketuhanan dan spritualitas adalah kesejahteraan yang semu”. Tambah Kiai Afif.
Sambil mengungkap sebuah pepatah Arab, pengarang Kitab Fathul Mujibul Qorib itu mengatakan bahwa kesejahteraan yang semu hanya akan melahirkan orang-orang tolol yang menjadikan hidup ini hanya untuk makan.
الاحمق يعيش لياءكل , والعاقل ياءكل ليعيش , والمسلم ليعبد ربه
“Orang tolol itu hidup untuk makan, orang berakal itu makan untuk hidup, sementara orang muslim itu hidup untuk menyembah Tuhannya”.
Dengan adanya kerjasama dan perpaduan antara negara dan agama maka lahirlah dua perlindungan atau dua kendali yaitu kendali agama dan kendali kekuasaan.
“Ada seseorang yang tidak berani melakukan korupsi karena takut kepada Allah swt. Ada sebagian orang yang takut korupsi bukan karena takut kepada Allah tapi takut dipenjara itu namanya kendali kekuasaan”, papar Kiai Afif.
Namun demikian, menurut Kiai Afif ada satu lagi kendali yang disebut dengan kendali alami. Kendali yang satu ini bersifat alami, di mana seseorang tidak melakukan korupsi karena menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijikkan. Bukan karena takut kepada Allah dan bukan pula karena takut dipenjara.
Lalu bagaimana tujuan negara menurut Islam? Kiai yang saat ini masih menjabat sebagai wakil ketua LBM NU ini mengatakan bahwa di dalam buku yang ia tulis menegaskan bahwa kehadiran negara bukanlah tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan.
“Kehadiran sebuah negara bukanlah sebuah tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan. Apa tujuan negara menurut Islam? Tujuan negara menurut Islam sama dengan tujuan syariat itu sendiri. Yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia dunia dan akhirat,” jelas Kiai Afif.
Ia mengemukakan, di dalam Al Quran maupun hadist tidak akan ditemukan ajaran-ajaran tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Kaum muslimin bebas untuk memilih bentuk negara tertentu dan memilih sistem pemerintahan tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Dosen Ma’had Aly itu juga menyebutkan bahwa yang ada dalam Islam adalah prinsip-prinsip umum yang apabila ditegakkan akan terwujudlah negara Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah musyawarah, kesetaraan, kebebasan (yang tidak melanggar nilai-nilai Islam), dan keadilan.
Atas diterbitkannya buku Fiqih Tata Nagara tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Nurul Ghufron sebagai pembanding, menilai bahwa buku yang ditulis Kiai Afif itu hadir di waktu yang tepat. Yaitu saat orang-orang sekuler meminta serta memaksa agama (Islam) dikeluarkan dari ketatanegaraan. Di sisi lain sebagian kalangan Islam yang meminta Islam dijadikan format dari seluruh ketatanegaraan.
Karena itu, ia menyarankan agar ke depannya buku yang disebutkan sebagai kumpulan dari makalah itu bisa dirumuskan menjadi sebuah buku khusus yang terstruktur. Yaitu membahas secara khusus tentang ketatanegaraan dalam perspektif Islam juga pada bidang spesifik ketatanegaraan yang semakin kompleks dan detil. (Hans)
Posted on 15 Januari 2018, in Politik and tagged Afifuddin Muhajir, bedah buku, fiqih tata negara, ma'had aly sukorejo, Pesantren Sukorejo, Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0