Cium Tangan yang Mulai Bergeser dari Tuntunan

Muhibah Umat II, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy disambut warga Sokaan, Trebungan

Serambimata.com – Setiap kali diminta untuk berada di bagian depan agar menemani guru saya, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy berarti kesempatan bagi saya untuk berdiskusi dan mengaji tentang banyak hal kepadanya. Mulai dari haliyah di setiap gerak dan diamnya beliau, tentang alam, agama, sosial hingga soal kenegaraan.

Wawasannya yang luas dan keilmuannya yang begitu dalam membuat materi mengaji dan diskusi seperti tak cukup waktu sampai habis di ujung tempat yang menjadi tujuan. Apa yang sedang kami lihat, didengar dan kami rasakan selalu saya angkat sebagai bahan pertanyaan, setidaknya agar beliau tidak terlalu jenuh sepanjang perjalanan

Sampai akhirnya topik perbincangan sampai pada soal ‘bersalaman denga mencium tangan’. Hal itu bermula ketika ada salah satu warga yang berebut untuk menyalami beliau ketika perjalanan Muhibah Umat II memasuki dusun Sokaan desa Trebungan kec. Mangaran. Tangan Kiai Azaim langsung ‘disambar’ seorang ibu sepuh lalu diciumnya sambil mengerak-gerakkan hidungnya ke kanan dan ke kiri (bahasa Madura: e kaloskos).

Muhibah Umat II di desa Trebungan kec. Mangaran

Saya yang berada tak jauh di hadapan beliau sambil membidikkan kamera android butut hanya menggeleng-gelengkan kepala bahkan diam-diam terheran-heran dengan caranya bersalaman kepada sang Kiai muda bersahaja itu.

Belum usai rasa heran saya, Kiai Azaim tiba-tiba samar berujar di telinga saya, “kok sampai begitu cara bersalamannya, apa ia mengikuti pendahulu-pendahulunya?”, katanya dengan seulas senyum yang terlukis di wajahnya.

“Sebaliknya kiai, murid-murid sekarang malah saat bersalaman dengan gurunya ditempelkan di dahi atau pipinya”, kata saya menimpali.

Mendengar penjelasan saya, senyum di wajahnya berubah menjadi mimik serius, sejurus kemudian beliau langsung mengambil tangan saya dalam genggamannya, “yang parah sekarang mulai muncul gaya bersalaman dengan cara begini”, kata Kiai Azaim sambil mencontohkan dengan tangan beliau yang masih menggenggam tangan saya.

“Bersalaman kepada guru bahkan kepada orang tuanya tapi yang dicium tangannya sendiri. Cara seperti ini adalah doktrin kelompok sebelah (kelompok yang selama ini dikenal melarang mencium tangan orang yang lebih tua bahkan kepada ulama, guru dan orang tua sekalipun karena dianggap bit’ah dan syirik)”, sambungnya.

“Lalu bagaimana cara mengingatkan agar bersalaman sesuai tuntunan Kiai?”, tanyaku penasaran.

“Umat Islam menciumi Hajar Aswad karena ia dipercaya sebagai batu dari surga selain karena pernah dilakukan Rasulullah. Batu saja dicium masak tidak mau mencium tangan Nabi, Ulama, orang-orang sholeh, guru bahkan orang tua?”, jawabnya seraya terus melangkahkan kakinya sambil melayani satu persatu warga yang sejak lama berjejer hanya untuk dapat menyalami cucu Pahlawan Nasional Kiai As’ad itu.

Muhibah Umat II di Pesisir Besuki

Kita tidak hidup di masa Nabi, tapi kita berada di zaman dimana masih terdapat para Ulama dan orang-orang sholeh. Mereka adalah orang-orang pilihan yang menjadi pewaris para Nabi. Maka, kepada siapa lagi kita berharap mendapatkan aliran keberkahan kalau tidak dari mereka.

Situbondo, 25 Maret 2018
Catatan Muhibah Umat II DMI Situbondo

About serambimata

Terus menulis

Posted on 28 Maret 2018, in Agama and tagged , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: