“El Clasico” dan Reorientasi Politik Kaum Santri

Oleh: Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M *)

Serambimata.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 sudah selesai digelar pada 27 Juni 2018 kemarin dan berjalan secara damai dan kondusif seperti yang kita harapkan. Dari 171 daerah yang melaksanakan hajatan Pilkada serentak kali ini, Jawa Timur termasuk salah satu daerah tergolong banyak mendapatkaan “sorotan kamera”. Pasalnya, selain jumlah pemilihnya yang cukup besar, sekitar 30-an juta, faktor figur kontestan yang diusung juga cukup menyita perhatian masyarakat, yaitu Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang sama-sama mencerminkan salah satu kader terbaik Nahdlatul Ulama’ (NU).

Gus Ipul yang pernah menjadi menteri pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga pernah menjadi Ketua Umum GP Ansor dan hingga sekarang tercatat sebagai salah satu ketua Pengurus Pesar Nahdlatul Ulama’ (PBNU). Khofifah juga demikian, selain pernah dua kali menjadi menteri pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo, hingga sekarang tercatat sebagai Ketua Muslimat NU. Dengan selesainya Pilkada kali ini, Khofifah dan Gus Ipul tercatat sudah tiga kali bertemu dalam ajang kontestasi politik lima tahunan ini.

Oleh karena itu, event Pilkada yang mempertemukan dua tokoh ini seringkali diibaratkan duel klasik “el clasico” yang mempertmukan Real Madrid dan Barcelona dalam liga sepok bola Spanyol. Setiap el clasico tersaji hamper bisa dipastian ribuan bahkan jutaan sorot mata penggemar bola menyaksikan pertandingan tersebut. Kenapa? Selain meteri pemainnya yang cukup berimbang dan sama-sama bagusnya, teknik yang disuguhkan masing-masing pelatih juga sama-sama menjanjikan kemenangan. Akhirnya yang menjadi pemenang pun terjadi secara silih berganti.

Pada edisi Pilkada tahun 2008 dan 2013, Gus Ipul yeng menjadi calon Wakil Gubernur mendampingi Soekarwo berhasil mengalahkan Calon Gubernur Khofifah yang berpasangan dengan Mudjiono (2008) dan berpasangan dengan Herman Sumowiredjo (2013) dengan margin kemenengan cukup tipis. Kali ini Gus Ipul yang mencalonkan diri sebagai Gubernur dan berpasangan dengan Puti Guntur Soekarno berhasil dikalahkan pasangan Khofifah-Emil Elestianto Dardak dengan margin kekalahan juga cukup tipis.

Hasil ini sifatnya masih sementara sebagaimana dirilis oleh beberapa lembaga survei yang melakukan hitung cepat (quick count). Semua lembaga survei yang mengadakan quick count memenangkan pasangan Khofifah-Emil dengan margin kemenangan antara 7 hingga 9 persen. Dari segi tradisi, Pasangan Gus Ipul-Puti sesungguhnya lebih berpotensi memenangkan Pilkada kali ini karena lebih banyak mendapatkan dukungan para Kiai dengan pondok pesantren sebagai basis massanya. Pengasuh pesantren-pesantren besar di Jawa Timur umumnya mengalirkan dukungan politiknya kepada Gus Ipul-Puti. Ditambah dukungan NU struktural sebagaimana diperankan Ketua PWNU Jawa Timur, K.H. Hasan Mutawakkil ‘Alallah. Orang nomor satu di NU Jawa Timur ini dari awal mengarahkan dukungan warga Jawa timur yang mayoritas nahdiyyin-santri kepada Gus Ipul-Puti.

Faktanya, variabel paternalistik kaum nahdiyyin-santri tidak banyak menentukan dalam Pilkada kali ini. Di era milenial seperti sekarang, mereka semakin otonom dan rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Seolah mereka mengatakan bahwa event semacam Pilkada adalah urusan duniawi yang berfungsi sebagai wahana (wasilah) dan bukan tujuan (ghayah). Yang menjadi tujuan dalam event ini adalah bagaimana pemimpin terpilih dapat menyejahterakan masyarakat Jawa Timur selama lima tahun ke depan. Dengan re-orientasi pola pikir seperti itu maka mereka bisa menentukan pilihannya berdasar kecerdasan intelektual yang mereka miliki tanpa harus tersandera oleh banyak fatwa politik yang saling menegasikan. Kondisi pelik seperti itu kadang ditambah oleh pengerahan massa cukup melelahkan seperti sering kita saksikan pada perhelatan politik di masa-masa lampau.

Arah dukungan masyarakat dalam Pilkada kali ini lebih banyak ditentukan oleh pemaparan visi, misi dan program para kontestan Pilkada. Media sosial sering menjadi ajang pemaparan program masing-masing kontestan Pilkada. Dalam debat publik tiga kali putaran mereka juga telah memaparkan semua program-program unggulannya untuk ditawarkan kepada masyarakat pemilih. Masyarakat kemudian bisa menentukan mana yang dinilah akan lebih mampu menyejahterakan kehidupan mereka lima tahun ke depan. Dalam debat publik tersebut nampak jelas bahwa Khofifah-Emil lebih unggul dalam penguasaan materi, pemetaan masalah dan pemaparan data. Variabel ini diyakini dapat mendongkrak suara Khofifah-Emil khususnya dari kalangan pemilih pemula dan undecided voter yang jumlahnya cukup banyak dan baru menentukan pilihan jelang pemungutan suara.

Dari sudut Khofifah dan Gus Ipul secara head to head, sesungguhnya tingkat electoral keduanya sudah mencapai klimaks-nya. Karenanya, faktor calon wakil, Email dan Mabk Puti, diyakini juga menjadi penentu untuk maraup suara kalangan generasi milenial dan undecided voter. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kemenangan Khofifah-Emil pada “duel el clasico” kemarin banyak ditentukan pada masa-masa injury time jelang hari pemungutan suara. Sebab, hasil rilis berbagai survei kredibel beberapa minggu sebelumnya, selisih suara keduanya masih dalam angka margin of error.

Al-hasil, banyak pihak yang akan mengambil ‘ibrah atau pelajaran berharga dari perhelatan Pilkada kali ini. Terlebih lebih para tokoh agama dan panutan masyarakat, apakah ke depan mereka masih perlu melakukan penggalangan massa ataukah cukup memayungi semua pihak yang berkontestasi seraya memfasilitasi mereka untuk beradu program dan menawarkan kinerja. Hal seperti ini sering kita saksikan di negera-negara maju dengan taraf ekonomi dan pendidikan yang sudah sedemikian established.

Kalau merujuk pada hasil keputusan Muktamar NU ke-27 dikatakan bahwa NU kembali ke Khitthah 1926 dan meninggalkan kegiatan politik praktis. Pada bagian berikutnya juga disebutkan bahwa hak politik NU diserahkan sepenuhnya kepada warga agar disalurkan dengan ber-akhlaqul karimah. Keputusan ini sering menjadi multi-tafsir di tengah kehidupan masyarakat. Mereka yang terlibat politik dan aksi dukung-mendukung biasanya berargumen bahwa mereka tidak menggunakan NU sebagai identitas organisasi sehingga tidak ada kontradiksi dengan keputusan Muktamar NU tersebut.

Persoalannya, aksi dukung mendukung seringkali berujung pada disharmoni di tengah kehidupan bermasyarakat selain wibawa dan martabat para tokoh yang terlibat kerap menjadi taruhan. Terlebih-lebih mengahadapi era serba digital seperti sekarang di mana para santri dan masyarakat pada umumnya mempunyai banyak preferensi untuk menentukan sikap politiknya. Dalam kondisi seperti ini, pilihan hati nurani kemudian menjadi sulit tergantikan oleh iming-iming, mobilisasi massa dan yang sejenisnya. Ini sesungguhnya perkembangan cukup menggembirakan karena bisa dijadikan indikator bahwa masyarakat kita semakin matang dalam berdemokrasi.

Pada akhirnya, kita perlu berproses untuk bisa menuju tangga kehidupan berdemokrasi yang lebih bermartabat. Tingkat pendidikan masyarakat dan taraf ekonomi warga akan terus bersinergi dengan peningkatan kualitas demokrasi kita. Penyelenggaraan Pilkada serentak yang berjalan aman dan damai kali ini menjadi indikasi perkembangan positif yang mesti kita syukuri. Ini semua juga tidak bisa lepas dari peran para Kiai, para pengasuh pesantren, tokoh-tokoh masyarakat, organ penyelenggara Pilkada serta kesiagaan pengamanan dari pihak aparat berwajib.

*) Guru besar Filsafat Hukum Islam dan Rektor Universitas Ibrahimy (UNIB)
Sukorejo Situbondo Jawa Timur

About serambimata

Terus menulis

Posted on 1 Juli 2018, in Politik and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Luar biasa pak prof. Semoga profesor2 UNIB berikutnya cepat menyusul, agar perguruan Universitas Ibrahimy berikutnya menjadi Al-Azhar kedua setelah mesir amien.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: