Pilih Kebahagiaan atau Pencitraan?
Oleh: Gus M. Cholil Abdul Jalil*)
Serambimata.com – Hari Jumat tanggal 6 Juli 2018, ombak lebih bersahabat dengan saya. Walaupun mabuk laut, tetapi perahu yang saya tumpangi berlabuh dengan aman. Untuk mengobati mual setelah dua Jam diayun ombak lautan antara Sapudi-Dungkek, saya beristirahat di rumah seorang sahabat di Batuputih, Sumenep. Saya perhatikan di daerah ini lebih banyak mobil jenis Pik Up daripada mobil keluarga lainnya, rupanya mobil pik up lebih digandrungi sebagai mobil transportasi Umum di wilayah ini. Merekapun tampak bahagia saat duduk bersama-sama di atas bak terbuka itu. Saya sempat bertanya apakah tidak ada usaha agar diganti dengan angkot sejenis Elf, L 300 atau kendaran berkelas MPV seperti Avanza dll? Dia jawab sudah, hanya saja tidak laku.
Untuk mengkaji kasus ini, saya berangkat dari asumsi bahwa, hidup bahagia pasti senang tapi senang belum tentu bahagia”. Dari asumsi ini bisa dikatakan bahwa kesenangan tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Kesenangan setidaknya dibagi dua.
Pertama, kesenangan لغيره. Kesenangan لغيره adalah kesenangan yang dikaitkan dengan merek atau citra dari benda atau materi. Kesenang ini bukan murni karena bendanya, tetapi karena sesuatu yang dilekatkan atau disimbolkan pada benda itu. Ada yang merasa senang kalau dia makan makanan mahal dan dianggap berkelas, misalnya ada yang senang kalau makan hamburger, KFC dan Pizza Hut. Adapula orang yang senang kepada orang lain karena dandanannya, hartanya, status sosialnya, dll.
Kedua, kesenangan لذاته. Kesenangan لذاته adalah kesenangan yang tidak tergantung pada merek atau citra. Kesenangan ini lebih karena aspek dalam benda itu sendiri. Ada orang yang senang walaupun hanya makan nasi peccel sambel terong, nasi sodu, minum teh dll, ada pula yang senang kepada orang lain karena pribadinya. Kesenangan ini, walaupun tidak selamanya benar, adalah lebih dekat dengan kebahagiaan.
Lalu apa hubungannya dengan Pik Up? Masyarakat di sini sudah diupakayakn untuk memiliki tumpangan yang lebih bagus, tetapi ternyata lebih memilih menggunakan Pik Up. Kasus ini menarik karena di saat gencar-gencarnya dunia sosial dengan pencitraan akan tetapi mereka justru tidak acuh dengan urusan citra. Saat banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan materi yang bermerek mereka tidak peduli dengan merek.
Kenapa dikaitkan dengan Citra dan Merk?
Merk seringkali dijadikan distingsi atau jarak sosial. Merk biasanya dijadikan tolak ukur kelas sosial. Artinya merk dijadikan sarana untuk membentuk citra seseorang atau sekelompok orang bahkan membedakan status sosialnya. Kalau memakai sarung dicitrakan ndeso tapi kalau bercelana jeans dicitrakan sebagai orang kota. Kalau suka kasidahan dianggap kuper, tapi kalau suka musik pop apalagi yang inggris-inggris dianggap gaul.
Merk juga sering dikaitkan dengan isi dompet. Kalau masuk ke warung lesehan berarti dompetnya tipis tapi kalau pergi ke restoran dompetnya tebal. Kalau minum teh hangat dianggap miskin tapi kalau minum hot tea dianggap kaya. Alhasil, semakin bermerk Konsumsi seseorang maka semakin tinggi status sosialnya.
Nah, masyarakat di daerah Batuputih ternyata masih banyak yang lebih mengutamakan kesenangan لذاته daripada kesenangan لغيره. Merk tumpangan bagi penduduk disini bukanlah ukuran kelas sosial. Sehingga terserah orang bilang apa, asal diri bahagia. Merk pada hakikatnya tidak membahagiakan, karena kebahgiaan lebih pada bagaimana jiwa kita saat menyikapinya bukan pada merknya.
*) Penulis adalah dosen di Universitas Ibrahimy dan ahlul bait PP. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di UIN Malang
Posted on 13 Juli 2018, in Budaya and tagged Cholil Abdul Jalil, gus Cholil, pencitraan. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0