Bagaimana Hukum Mengumbar Aib Calon Pemimpin dalam Islam?
Posted by serambimata

(Gambar: Republika.co.id)
Serambimata.com – Menghujat, mencaci, memaki, mengumbar aib bahkan memfitnah sudah menjadi hal biasa belakangan ini, terutama memasuki tahun politik. Mengumbar aib capres dan cawapres sering kali menjadi senjata untuk menggerus suaranya. Cara ini dianggap efektif untuk menjatuhkan lawan dibanding mengungkap kelebihannya.
Lalu bagaimana, Islam memandang fenomena tersebut? Adakah celah kebolehan mengumbar aib calon pemimpin dengan tujuan kemaslahatan?Jika boleh, kemaslahatan yang bagaimana? Adakah batasan-batasannya? Berikut ulasannya. Dikutip dari situs resmi Lembaga Kader Ahli Fiqih, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo.
DESKRIPSI MASALAH
Hiruk-pikuk pilkada 2018 di beberapa daerah sudah mulai dirasakan masyarakat elit sampai masyarakat bawah. Tentunya diwarnai janji-janji indah nan menggoda di spanduk dan yang terlontar dari lidah para paslon (pasangan calon)––sebagaimana lumrah terjadi menjelang pilkada digelar. Tanpa terkecuali pilkada atau pilgub JATIM, lebih “diperindah” dengan adanya pengumbaran aib salah satu cawagub (calon wakil gubernur) melalui foto-foto syur tersebar secara berantai di Whatsapp . Ini Bukanlah hanya aib biasa, tapi aib yang menjatuhkan nama baik dan citranya. Sampai-sampai dia harus mengundurkan diri sebagai cawagub, karena citranya memburuk di mata rakyat dengan teror foto-foto syur masa lalu. Tak pelak kabar ini langsung mencuat kepermukaan, menjadi kabar viral di dunia maya bagi pengamat ataupun penikmat politik. [JawaPos.com]
Berfokus pada kasus di atas, bila dilihat sekilas, ini memang benar-benar pembunuhan karakter bagi calon tersebut dan mengumbar aib sesama. Tapi di sisi lain, timbul gambaran bagi rakyat untuk mengetahui karakter para calon pemimpinnya. Sehingga rakyat dapat memilih pemimpin yang tepat, tidak termakan buaian janji-janji pemikat.
PERTANYAAN
1. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai mengumbar aib calon pemimpin?
2. Jikalau boleh, sejauh manakah batasannya?
MUKADIMAH
ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﺛْﻢٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠَﺴَّﺴُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻐْﺘَﺐْ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻩُ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺭَﺣِﻴﻢٌ .
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah ada di antara kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang.” [Q.S. Al-Ḥujurāt: 12]
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺃَﻥْ ﺗَﺸِﻴﻊَ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺸَﺔُ ﻓِﻲ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ .
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [Q.S. An-Nūr: 19]
ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻭﺍﻷﺛﺎﺭ
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﺃَﻳُّﻮﺏَ، ﻭَﻗُﺘَﻴْﺒَﺔُ، ﻭَﺍﺑْﻦُ ﺣُﺠْﺮٍ، ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺇِﺳْﻤَﺎﻋِﻴﻞُ، ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻗَﺎﻝَ : ” ﺃَﺗَﺪْﺭُﻭﻥَ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻐِﻴﺒَﺔُ؟ ” ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ” ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ” ، ﻗَﺎﻝَ : ” ﺫِﻛْﺮُﻙَ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻜْﺮَﻩُ “. ﻗِﻴﻞَ ” ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺃَﺧِﻲ ﻣَﺎ ﺃَﻗُﻮﻝُ؟ ” ﻗَﺎﻝَ : ” ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻴﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮﻝُ، ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻏْﺘَﺒْﺘَﻪُ، ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﻬَﺘَّﻪُ “.
Yaḥyā ibn Ayyūb, Qutaibah, dan Ibn Ḥujr menyampaikan hadis kepada kami, mereka berkata: Ismā’il menyampaikan hadis pada kami dari al-Alā’, dari ayahnya, dari Abū Hurairah r.a., ia berkata Rasulullah saw. pernah bertanya “Tahukah kamu apa itu gibah? ” Para sahabat menjawab “ Allah dan Rasul-Nya lebih tahu .” Kemudian Rasulullah saw. bersabda “ Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai .” Seseorang bertanya “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ” Rasulullah saw. menjawab, “ Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti) .” [H.R. Muslim]
ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﻋَﻤْﺮُﻭ ﺑْﻦُ ﻋَﻮْﻥٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻋَﻦْ ﻭَﺍﺻِﻞٍ، ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺃَﺑِﻲ ﻋُﻴَﻴْﻨَﺔَ، ﻋَﻦْ ﺑَﺸَّﺎﺭِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻴْﻒٍ، ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِ، ﻋَﻦْ ﻋِﻴَﺎﺽِ ﺑْﻦِ ﻏُﻄَﻴْﻒٍ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋُﺒَﻴْﺪَﺓَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺠَﺮَّﺍﺡِ ﻗَﺎﻝَ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ : ” ﺍﻟﺼَّﻮْﻡُ ﺟُﻨَّﺔٌ، ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﺮِﻗْﻬَﺎ ” ، ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﻣُﺤَﻤَّﺪ : ” ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺑِﺎﻟْﻐِﻴﺒَﺔِ “.
‘Amr ibn ‘Aun, memberitakan kepada kami, Khālid ibn Abdillāh menyampaikan hadis dari Wāṣil hamba sahaya Abī ‘Uyainah, dari Basysyār ibn Abī Saif, dari al-Walīd ibn Abdirraḥmān, dari ‘Iyāḍ ibn Ghuṭaif, dari Abī ‘Ubaidah ibn al-Jarrāḥ dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Puasa adalah perisai (dari api neraka), selama orang yang berpuasa tidak merusaknya.” Abū Muūammad berkata, “Yakni (merusak) dengan gibah.” [H.R. Dārimī]
ﻭَ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠّٰﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﻟَﻤَّﺎ ﻋُﺮِﺝَ ﺑﻲ ﻣَﺮَﺭْﺕُ ﺑِﻘَﻮﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺃﻇْﻔَﺎﺭٌ ﻣِﻦْ ﻧُﺤَﺎﺱٍ ﻳَﺨْﻤِﺸُﻮﻥَ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢْ ﻭَﺻُﺪُﻭﺭَﻫُﻢْ ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ” ﻣَﻦْ ﻫﺆُﻻﺀِ ﻳَﺎ ﺟِﺒﺮِﻳﻞُ؟ ” ﻗَﺎﻝَ : ” ﻫﺆُﻻﺀِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺄﻛُﻠُﻮﻥَ ﻟُﺤُﻮﻡَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ، ﻭَﻳَﻘَﻌُﻮﻥَ ﻓﻲ ﺃﻋْﺮَﺍﺿِﻬِﻢْ “.
Dari Anas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Tatkala aku mikraj, aku berjumpa suatu kaum berkuku tembaga sedang mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka. Lalu aku bertanya pada malaikat Jibril a.s. ‘siapa mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang memakan daging manusia (melakukan gibah) dan mencaci maki kehormatan manusia’.” [H.R. Abū Dāwūd]
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻰ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ : ﺃﻥَّ ﺭﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠّٰﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ : …” ﻛُﻞُّ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺣَﺮَﺍﻡٌ : ﺩَﻣُﻪُ ﻭَﻋِﺮْﺿُﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟُﻪُ “.
Dari Abū Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: “… Setiap muslim atas muslim yang lain ialah haram (dilindungi) darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” [H.R. Muslim]
ﺍﻟﻘﻮﺍﻋﺪ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ
ﺍﻟﻀَّﺮُﻭْﺭَﺍﺕُ ﺗُﺒِﻴْﺢُ ﺍﻟْﻤَﺤْﻈُﻮْﺭَﺍﺕِ ﺑِﺸَﺮْﻁِ ﻋَﺪَﻡِ ﻧُﻘْﺼَﺎﻧِﻬَﺎ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺃﻱ ﺑِﺸَﺮْﻁِ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﻀَّﺮُﻭْﺭَﺓُ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤَﺤْﻈُﻮْﺭِ ﻭَ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﻓِﻰ ﻧَﻈَﺮِ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉِ .
“Keadaan-keadaan darurat dapat membolehkan suatu yang dilarang, seyampang keadaan darurat tersebut memiliki dampak yang lebih besar daripada suatu yang dilarang lagi diperhitungkan oleh syariat.”
ﻣَﺎ ﺃُﺑِﻴْﺢَ ﻟِﻠﻀَّﺮُﻭْﺭَﺓِ ﻳُﻘَﺪَّﺭُ ﺑِﻘَﺪْﺭِﻫَﺎ .
“Setiap sesuatu yang dibolehkan karena alasan darurat haruslah dibatasi secukupnya.”
JAWABAN
Gibah (mengumbar aib orang lain) dalam syariat Islam memang diharamkan, bahkan tergolong perbuatan yang dapat menghapus amal baik seseorang. Akan tetapi gibah dibolehkan (berdasarkan ijtihad ulama) dengan adanya tujuan
syar’ī , sebagaimana keterangan dalam Syarḥ al-Nawawī ‘alā Muslim, dari Imam al-Nawawī: pertama,
melaporkan kezaliman kepada penguasa atau pihak yang berwenang, semisal mengatakan, “Fulan menzalimiku demikian.” Kedua , meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan orang yang bermaksiat, semisal meminta pertolongan pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Fulan telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.” Ketiga , meminta fatwa, seperti seorang bertanya pada mufti, “Saudaraku telah menzalimiku demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.” Keempat , peringatan kepada kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadis, juga termasuk poin keempat mengungkap kefasikan atau tidak ahlinya seorang penguasa, dengan tujuan menyelamatkan manusia dari tipu daya dan menegakkan keadilan. Kelima, membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bidah terhadap maksiat atau bidah yang dilakukan saja, tidak pada masalah lainnya. Keenam, menyebut seseorang dengan julukan yang sudah masyhur baginya seperti menyebutnya si buta. Namun bilamana ada julukan yang bagus, lebih baik itu digunakan.
Walhasil, tindakan tersebut (mengungkap aib calon pemimpin) dapat dibenarkan bila bertujuan memberi peringatan kepada masyarakat terhadap suatu keburukan untuk menyelamatkan manusia dari tipu daya dan menegakkan keadilan (poin empat). Lalu karena gibah ini dilegalkan sebab darurat yang lebih besar dampaknya, maka haruslah dibatasi secukupnya saja, yakni kalau masyarakat sudah menolak calon itu dengan adanya satu perbuatan buruk, maka tak perlu mengumbar aibnya lebih dari kadar yang dibutuhkan. Sehingga kita tidak tergolong merusak kehormatan orang lain menurut hukum Islam. (Ach)
REFERENSI
Ṣaḥīḥ Muslim: 2001 & 1986/IV, Sunan al-Dārimī: 1081/II, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn li al-Nawawī: 181/II, Sunan Abī Dāwūd: 269/IV, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir li al-Imām Tāj al-Dīn al-Subkī: 55/I & al-Asybāh wa al-Naẓā’ir li al-Suyūṭī: 84/I.
Posted on 6 September 2018, in Agama and tagged hukum Islam, hukum mengumbar aib, ma'had aly, ma'had aly sukorejo, mengumbar aib, pilpres 2019. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0