Definisi Ulama’ Menurut Imam Al Ghazali
Oleh: Ahmad Husain Fahasbu * )
Serambimata.com – Warganet belakangan sibuk berdebat tentang makna ulama dan keulamaan. Hal ini sebagai respon setelah Hidayat Nur Wahid, salah seorang petinggi PKS, menyebut Sandiaga Salahuddin Uno, bakal Cawapres Prabowo Subianto sebagai ulama. Secara leksikal kebahasaan, kata ulama adalah bentuk plural ( jamak) dari alim yang bermakna orang yang tahu atau orang yang paham. Dalam Alquran, term “ulama” secara eksplisit disebut dua kali, pertama dalam surat Fathir ayat 28 dan surat al-Syuara’ 197.
Pertama-tama, pangkat ulama dan keulamaan dalam Islam adalah pangkat yang agung. Banyak ayat dan hadis yang secara gamblang menjelaskan bagaimana tingginya posisi ulama baik di dunia maupun akhirat. Kenapa ulama begitu mulia? Karena dengan ilmu seseorang akan memiliki potensi untuk menjadi hamba yang bertakwa.
Dalam Ihya’ Ulumuddin , Imam al-Ghazali mengulas panjang lebar tentang ilmu, tata cara memperoleh ilmu dan keutamaan ahli ilmu atau ulama. Bahkan, pembahasan ini dijadikan bahasan awal dalam karya agungnya itu. Tulisan ini tidak akan mengurai dari awal tetapi tulisan ini akan membahas tipologi ulama menurut al-Ghazali. Selamat membaca!
Tanda atau ciri-ciri ulama menurut Imam al-Ghazali adalah:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺍَﻥَّ ﺍﻟﻼَّﺋِﻖَ ﺑِﺎﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﺍَﻟْﻤُﺘَﺪَﻳِّﻦُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻣَﻄْﻌَﻤُﻪُ ﻭَﻣَﻠْﺒَﺴُﻪُ ﻭَﻣَﺴْﻜَﻨُﻪُ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊُ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻖُ ﺑِﻤَﻌَﺎﺷِﻪِ ﻓﻰْ ﺩُﻧْﻴَﺎﻩُ ﻭَﺳَﻄًﺎ . ﻟَﺎ ﻳَﻤِﻴْﻞُ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺘﺮﻓﻪ ﻭﺍﻟﺘﻨﻌﻢ
Ketahuilah! bahwa yang patut atau pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan .
Al-Ghazali membagi ulama menjadi dua, pertama, ulama akhirat, kedua ulama su’ (ulama buruk) atau ulama dunia. Ulama yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini menegaskan pentingnya mengetahui perbedaan kedua model ulama di atas, karena keduanya bagaikan timur dan barat atau langit dan bumi. Ulama su’ atau ulama dunia menurut al-Ghazali adalah mereka yang menggunakan ilmunya untuk mencari kenikmatan dunia, memperoleh kekuasaan dan posisi yang terhormat di hadapan masyarakat. Tipikal ulama inilah yang mendapat ancaman keras dari beberapa ayat dan hadis. Salah satunya sabda nabi:
ﺃِﻥَّ ﺍَﺷَﺪَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺬَﺍﺑﺎً ﻳَﻮْﻡَ ﺍْﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌْﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻌِﻠْﻤِﻪِ
“Paling pedihnya azab di hari kiamat adalah orang alim yang ilmunya tidak bermanfaat”
al-Hasan al-Basri berkata:
ﻉﻗُﻮْﺑَﺔُ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻣَﻮْﺕُ ﺍْﻟﻘَﻠْﺐِ ﻭَﻣَﻮْﺕُ ﺍْﻟﻘَﻠْﺐِ ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺑِﻌَﻤَﻞِ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓِ
Hukuman atau sanksinya ulama adalah matinya hati dan matinya hati disebabkan mencari dunia dengan perbuatan akhirat.
Kenapa ulama yang sudah tergiur dengan dunia dianggap ulama su’ ? karena paling rendahnya pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki ulama pasti paham bahwa dunia itu hina, dina dan remeh. Dalam salah satu hadisnya, nabi menyebut dunia itu terlaknat karena bisa meninggalkan mengingat Allah.
Sebenarnya bukan hanya al-Ghazali yang mengkritik ulama su’ atau ulama dunia, dalam beberapa kitab tafsir, ulama su’ juga dikecam. Imam al-Naisaburi menyebut ulama su’ sebagai ulama yang melakukan tipu daya kepada orang awam dengan ilmunya. Sementara Ibnu Ajibah dalam Tafsir al-Bahru al-Madid fi tafsir al-Quran al-Majid , menyatakan bahwa ulama
su’ adalah mereka yang merasa enteng untuk memperoleh gemerlapnya dunia dengan ilmu yang dimiliki, seperti menerima sogokan, mengambil upah sesuai dengan ketentuan.
Maka, untuk menjauh dari jebakan ulama su’ sebagaimana pengantar di atas penting mengetahui tanda-tanda ulama akhirat atau ulama yang layak diikuti. Menurut al-Ghazali setidaknya ulama akhirat itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut.
Pertama, ia tak menggunakan ilmu yang dimiliki untuk mencari gemerlapnya dunia. Karena setiap orang berilmu pasti paham bahwa dunia itu begitu rendah, remeh dan hina. Antara ilmu dan dunia bagaikan dua neraca timbangan, bilamana salah satunya terisi maka yang lain terangkat, begitupula ilmu dan dunia tak akan bisa mengisi hati seseorang secara bersamaan.
Kedua, kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ia tak akan memerintahkan kebaikan kecuali telah mengerjakan dan tidak melarang sesuatu kecuali telah meninggalkan. Allah berfiman:
ﻛَﺒُﺮَ ﻣَﻘْﺘﺎً ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍَﻥْ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮْﻥَ
(itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan. (QS. Shaf [61]: 03)
Ketiga, fokus perhatiannya dalam mencari ilmu adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Ia menjaga jarak dari ilmu-ilmu yang hanya menjauhkan dirinya dari mengingat Allah.
Keempat, sederhana dalam ucapan, perbuatan, pakaian dan tempat tinggal. Kesederhanaan menjadi penting bagi seorang ulama karena ia adalah salah satu indikator sikap zuhud, yaitu tidak cinta dunia. Di Jawa Timur ada Kiai yang sangat sederhana dalam hal penampilannya: mulai ucapannya, perbuatannya dan rumah tempat tinggalnya. Pakaiannya serba putih, mulai songkok, baju dan sarung yang dikenakan. Ia tak pernah memakai aksesoris ke-kiai-an, seperti Imamah, jubah, tasbih dan lain-lain. Jika tampil di forum-forum pengajian pembawaanya datar, tak teriak-teriak seperti orator. Ketika pergi ke Undangan tak pernah dikerumuni khadam-khadam, pawai-pawai apalagi mobil Patwal Polisi sehingga dalam banyak kesempatan masyarakat sering terkecoh dengan penampilannya. Padahal pesantren yang diasuhnya sangat besar dengan jumlah santri ribuan, beliau adalah KH. Zuhri Zaini, Pengasuh PP. Nurul Jadid Probolinggo.
Kelima, menjaga jarak dari penguasa. Idealnya seorang ulama tak begitu intens berhubungan dengan penguasa. Meminjam bahasa al-Ghazali, sekiranya menemukan jalan untuk menjauh dari penguasa, maka ia harus menempuh jalan itu. Alasannya sederhana, karena dunia begitu nikmat dan menggoda sementara tali kekang dunia ada di tangan penguasa. Tapi ketentuan ini tak bisa diberlakukan universal, mengingat al-Ghazali dengan Ihya’ -nya lahir dalam konteks dan ruang tertentu. Tapi sebagai tindakan preventif sebaiknya seorang ulama memang menjaga jarak dengan penguasa. Nabi bersabda:
ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃ ﻭَﺧِﻴَﺎﺭُ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ
Paling buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah mereka yang mendatangi ulama.
Keenam, tidak buru-buru memberi fatwa. Poin ini penting untuk stabilitas bersama antar masyarakat dan anak bangsa. Mengingat ulama mendapat posisi yang begitu sakral di hati masyarakat, ucapan dan tindakannya seperti wahyu Tuhan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang homogen jika semua persoalan yang bermunculan langsung diberi fatwa tanpa mengetahui betul duduk perkaranya maka instabilitas akan terjadi. Apalagi fatwa yang keluar berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti fatwa sesat, kafir atau menista. Maka tak heran, telinga kita begitu akrab dimana fatwa kerap dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan, intoleransi dan lain sebagainya.
Ketujuh, fokus utamanya adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hati dan muraqabah (ia merasa bahwa Allah selalu memantau gerak-geriknya). Dalam tiap pembahasannya, al-Ghazali selalu menekankan pentingnya menjaga hati. Karena hati ibarat remot yang bisa mengendalikan seluruh tubuh manusia.
Kedelapan, begitu perhatian dan serius dalam menguatkan kayakinan karena kayakinan adalah modal dasar agama.
Kesembilan, selalu merasa sedih, hina dan nista di hadapan Allah. Hal ini sebagai rem agar diri tak congkak di hadapan Allah. Karena ulama adalah pangkat yang prestesius di tengah masyarakat, jika tidak di- maneg dengan baik khawatir status keulamaan mengantarkan kepada kesombongan dan keangkuhan.
Kesepuluh, ilmu-ilmu yang menjadi fokus utama pembahasaanya adalah berkaitan dengan ilmu perbuatan dan hal-hal yang menjaga hati dari sikap waswas.
Kesebelas, hati dan nuraninya menjadi soko guru terhadap seluruh ilmu dan perbuatannya. Jadi sumber pengambilan ilmu yang dimiliki tidak kitab ansich tetapi juga bertopang pada hati-nuraninya. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad:
ﺃِﺳْﺘَﻔْﺖِ ﻗَﻠْﺒَﻚَ ﻭَﺃِﻥْ ﺍَﻓْﺘﺎَﻙَ ﺍْﻟﻤُﻔْﺘُﻮْﻥَ
Mintalah petunjuk kepada hati nuranimu sekalipun memberi fatwa siapa juru fatwa.
Kedua belas, sangat menghindar atau menjauh dari perkara-perkara baru (bidah). Karena melakukan kreasi baru terhadap urusan agama adalah hal yang sangat dilarang. Hal ini menyangkut kemurnian ajaran agama.
Di tengah menguatnya politik identitas yang membawa-bawa simbol agama seperti ulama, masyarakat atau pemilih hendaknya cerdas menilai mana ulama yang sesungguhnya dan orang yang hanya memanipulasi dirinya sebagai ulama. Dan penting diingat, ulama itu bukan rekomendasi dari pemerintah atau tokoh poltik ia adalah gelar yang diberikan oleh Allah kepada hambanya yang saleh.
* Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah Tanwirul Afkar Ma’had Aly Situbondo. Tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media seperti NU Online, ALIF ID, THE GEOTIMES.COM, SERAMBI MATA, HARAKATUNA dan lain-lain.
(Judul Asli: Ulama Menurut Al Ghazali)
http://mahad-aly.sukorejo.com/2018/09/19/ULAMA-MENURUT-AL-GHAZALI.html
Posted on 20 September 2018, in Agama and tagged Al Ghazali, ihya ulumuddin, Imam Al Gjazali, pengertian Ulama, pilpres 2019, Sandiaga Uno, Ulama. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0