Mengenang Al Marhum KH. Hariri Abd Adhim

Serambimata.com – Di penghujung bulang Sya’ban tahun ini, saya pamit kepada guru saya, Kiai Hariri dalam rangka liburan Ramadan. Kesehatannya tampak terganggu, menurut teman-teman Tepas–Tepas adalah asrama para santri yang mengabdi kepada kiai–Kiai jika berjalanan agak jauh nafasnya terganggu.

Tanggal 15 Ramadan beredar info bahwa beliau sakit dan dirawat di rumah sakit. Seketika saya hubungi khadam yang biasa menemani beliau, ia menampik bahwa kiai dirawat. Soal sakit, ia membenarkan. “Kiai kan memang sakit”, ujarnya kepada saya. Untuk memastikan kondisi Kiai, saya langsung menuju Sukorejo dan sowan kepada beliau. Malam harinya Kiai masih berkenan membaca doa khataman Alquran di Musalla Ma’had Aly, membelikan nasi Sodu dan makan bersama teman-teman, termasuk saya.

Tanggal 28 Ramadan, saya tiba-tiba merindukannya kembali. Tanpa menunggu lama dari Bondowoso saya langsung pergi ke Sukorejo. Bakda asar, saya sengaja menunggu di depan kediamannya. Setelah salat dan wirid, ia keluar dan saya berdiri menghampirinya, menjulurkan tangan kanan membantunya menuruni tangga. Dengan nada khasnya, “bhede perlo apa?, ada perlu apa?”, saya jawab “ingin sowan sama kiai”. Setelah dirasa puas berada di sampingnya dan Maghrib hampir masuk, saya pamit dan mencium tangan lembutnya.

Bulan Syawal waktu liburan habis, saya kembali ke pondok. Kesehatannya tak berubah; tetap seperti saat saya sowan di penghujung ramadan itu. Seingat saya, Kiai masih ngajar ketika kesehatannya terus menurun. Puncaknya ketika di rawat di Rumah sakit Elizabet, ia bersikeras untuk pulang untuk mengajar kami. Tak ada yang bisa menolak, akhirnya Kiai pulang padahal kondisinya belum begitu pulih. Keinginannya untuk mengajar terus bergejolak di tengah kondisi fisiknya yang semakin rapuh. Zaenal Mustafa, salah seorang teman yang menjadi khadamnya bercerita kepada saya bahwa Kiai “ngotot” ingin ngajar, tapi ia bersedih tidak bisa mutalaah alias belajar terlebih dahulu sebelum memberikan pengajian. Kiai Hariri, begitu ia akrab disapa, merasa “berdosa” jika mengajar tanpa belajar terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita?

Satu hari sebelum pergi mengikuti Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Pesantren Krapyak Jogjakarta pada 10-12 Oktober 2018, saya pamit kepada beliau sembari menjelaskan bahwa Ma’had Aly situbondo, lembaga yang diasuhnya mendominasi dalam pelaksanaan Muktamar dengan banyaknya santri Ma’had Aly yang lolos. Tampak terlihat gurat senyum bahagia di tengah kondisi sakitnya. Setelah mendapat doa, saya memantapkan pergi. mungkin itulah perjumpaan dan pembicaraan terakhir saya dengan beliau. Hingga akhirnya kondisinya kesehatannya terus menurun hingga Allah Swt memanggil beliau untuk selamanya hari Rabu 7 November 2018 bakda Zuhur di tempat ia mengabdi, tempat yang dipilih Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk menemani kami, di kompleks santri Ma’had Aly. Inna Lillah Wa Inna Ilaihi Rajiun.

Saya dan Kiai Hariri

Kiai Hariri bagi saya dan teman-teman yang pernah berkumpul dengannya sangat istimewa. Ia tak tampak seperti Kiai yang terkesan berjarak dengan santrinya. Sosoknya egaliter, lembut, dermawan dan sabar. Soal kesabarannya, pembaca mungkin sudah banyak yang tahu. Dalam hemat saya, kesabaran Kiai Hariri sudah “ofside” alias di luar nalar. Pembaca mungkin banyak yang tak percaya bahwa Kiai Hariri hampir setiap hari dimintai uang cabisan oleh tamu-tamunya yang aneh-aneh itu. Dalam titik ini, Kiai Hariri seperti sebuah antitesa dari fakta bahwa seorang figur kiai seharusnya diberi cabisan bukan memberi cabisan. Hampir setiap hari di kediamannya hilir mudik tamu-tamu “aneh” yang dicabisi kiai. Bahkan titik ofside kesabarannya adalah tatkala ada tamu yang meminta uang. Sebagaimana biasa, kiai akan segera memberi. Tak disangka, amplop yang sudah diisi uang dibuka di depan beliau dan ia berkata bahwa nominalnya kurang. Kiai tanpa marah itu masuk kembali ke rumahnya dan menambah nominal uang yang dimaksud.

Dalam spektrum yang luas, kesabarannya diuji dengan menjadi pemangku utama di lembaga kader ahli fikih, Ma’had Aly Situbondo. Sebagai maklum lembaga ini adalah lembaga tinggi pasca Pesantren yang didirikan Kiai As’ad di penghujung usianya. Teman-teman pernah berkelakar, menjadi mudir di Ma’had Aly itu membutuhkan kekuatan ekstra. Lebih-lebih ketika awal tahun 2000-an di mana terjadi persinggungan yang intens antara Ma’had Aly dan Jaringan Islam Liberal di Jakarta. Bukan hanya itu, dalam beberapa kesempatan santri Ma’had Aly sering melontarkan ide-ide nyentrik yang cukup maju dan menggugah, soal Valentine Day, Nikah Beda Agama, Dialog Beda Agama, Pluralisme Agama, Kritik Terhadap Kitab Kuning dan lain-lain.

Suatu ketika, Majalah Tanwirul Afkar, wadah pemikiran santri Ma’had Aly pernah merilis tajuk “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Sontak tulisan itu membikin beberapa Kiai dan tokoh-tokoh agama geram, bahkan ada kiai yang mengirimkan “surat keberatan” dan menyatakan bahwa santri Ma’had Aly Situbondo sudah berlebihan dan di luar kewajaran. Bagaimana respon Kiai Hariri? Ia tak kaget. Dalam diamnya, tersimpan doa agar apa-apa yang dilakukan anak didiknya adalah “ijtihad ilmiah” yang sekalipun itu salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala.

Dalam batas-batas tertentu Kiai Hariri tentu mengawasi segenap pemikiran dan prilaku anak-anaknya dan dalam batas yang lain ia terus berfikir bagaimana ia melahirkan kader-kader kritis, komprehensif dan bertanggung jawab. Ini mungkin makna dari kelakar teman-teman bahwa menjadi mudir di Ma’had Aly Situbondo itu butuh kerja ekstra. Dia harus berdiri di tengah, kokoh sekokoh batu karang di tengah terpaan badai lautan.

Progresifitas (saya lebih suka menggunakan term ini daripada liberalisme) santri Ma’had Aly memang bukan isapan jempol belaka. Persinggungan intens dengan aktivis Islam liberal di masa-masa itu makin membuat kedewasaan pemikiran Santri Ma’had Aly. Pada waktu itu Situbondo-Jakarta menjadi Hilir aktivis-aktivis Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Rumadi Ahmad, Marzuqi Wahid dan lain-lain. Tokoh-tokoh senior juga cukup mewarnai di lembaga ini, sekadar menyebut nama ada KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, KH. Masdar Farid Mas’udi dan lain-lain. Puncaknya adalah ketika pemikir kontroversial asal Mesir yang dideportasi ke Belanda, Nashr Hamid Abou Zayd didaulat memberikan “pengajian” kepada santri Ma’had Aly.

Bayangkan saja, Nasr Hamid yang baru saja divonis sesat oleh pengadilan tinggi agama di Mesir dan dipisah dengan istrinya diterima dengan baik dan dijamu di Ma’had Aly Situbondo di bawah asuhan Kiai Hariri Abdul Adhim. Kiai Hariri, menerima tamu-tamu itu, menyediakan tempat penginapan dan memberikan kesan yang nyaman. Dan ini juga berlaku bagi seluruh anak-anak muda NU yang “itu”.

Dan “alhamdulillah” tempaan Kiai Hariri dan tentunya kiai-kiai yang lain telah mengasilkan hasil yang luar biasa. Dari Ma’had Aly Situbondo lahir tokoh-tokoh mumpuni, semisal Prof. Abu Yasid, MA. LLM, Dr. Wawan Djuandi, M. Ag, Dr. Abdul Jalal, Kiai Ahmad Muzammil, Dr. Abdul Jalil, M. Ag. Imam Nakha’i, khusus nama terakhir, ia menempati posisi strategis tentang isu-isu Gender dan Perempuan, tepatnya di Komnas perempuan. Dan masih banyak tokoh alumni yang belum saya sebut di sini, dengan tanpa mengurangi rasa takzim, beliau-beliau adalah kebanggaan banyak orang minimal saya yang bodoh ini. [Keterangan ini tidak menafikan alumni-alumni yang lain yang bergerak di bidangnya masing-masing. Qul Kullun Nya’malu Ala Syakilatih.]

Hal lain yang begitu menginspirasi dari Kiai Hariri adalah ketekunannya dalam belajar. Menurut penuturan Kiai Zainul Muin Husni, teman beliau ketika masih belajar di Pesantren Nurul Jadid, Kiai Hariri itu bacground pendidikannya adalah pendidikan umum, tepatnya jurusan Matematika. Namun apalah daya, setamat SMA sang ayahanda memerintahkan beliau mondok di Nurul Jadid dan akhirnya beliau “banting setir”, belajar di pondok Pesantren. Sadar dengan bacground umum, Hariri muda belajar otodidak. Dan daya tangkapnya luar biasa. Hingga akhirnya ia adalah salah satu santri yang akan dikirim ke Timur Tengah oleh Kiai Hasyim Zaini namun akhirnya tidak jadi dan akhirnya ia tetap “dikirim” ke ujung timur pulau Jawa untuk dinikahkan dengan Nyai Hj. Ummi Hani’, cucu Kiai As’ad putri dari Nyai. Hj. Zainiyah As’ad dengan Syaikh Dhofir Munawwar.

Kepada beliau, saya mengaji kitab tasawwuf Ihya Ulumiddin karya Abu Hamid al-Ghazali dan Ibanah al-Ahkam yang merupakan syarah atas kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani tepatnya bakda Subuh. Modelnya teman-teman yang membaca kemudian disimak oleh kiai dan santri yang lain. Dalam memberi makna, arti dan terjemah kata, beliau cukup ketat. Bagi Kiai Hariri, frasa Ialah, adalah atau itu untuk menerjemahkan khabar memiliki tempat yang beda-beda. Jadi tak bisa dibabat rata bahwa khabar itu bisa dimaknai ialah. Bagi Kiai Hariri juga, cara menerjemahkan huruf “in“, “lau“, dan “idza” tidak bisa diseregamkan dengan makna “jika” ada tempat dan penempatan tersendiri. Jadi sudah dipastikan kami kewalahan di situ. Salah saja menempatkan makna, spontan Kiai Hariri dawuh dengan suara khas “keliru” bahkan nyuruh berdiri dan diiringi suara tawa teman-teman. [jujur logat khas beliau masih terekam kuat dalam memori terdalam saya ketika menegur saat salah penempatan makna, Allah yarhamuka Sidi]

Ketika kesalahan teman-teman dalam penempatan makna ini cukup banyak kemudian beliau merekomendasikan untuk membuka kitab Mughni Labib karya Ibn Hisyam, Alfiyah Ibn Malik, Kamus Lisan al-Arab, Kamus al-Muhith, al-Munjid dan lain-lain. Tak lupa beliau juga berkelakar agar Hafalan Alfiyah jangan dibiarkan hilang. Ini menjadi bukti kuat bahwa ilmu gramatikal arab beliau sangat kuat dan kukuh. padahal ia baru “mengenal” nahwu sejak lulus SMA.

Dari Kiai Hariri saya juga belajar tentang ketulusan. Sejauh dalam pandangan saya, beliau tak pernah mengeluarkan kata-kata laknat dan marah kepada para santrinya. Senakal apapun itu. Saya konfirmasi lagi kepada orang-orang yang sangat lama bergumul dengan beliau dan merekapun sepakat bahwa kiai tak pernah mengeluarkan kata laknat, marah atau bahkan kutukan kepada siapapun lebih-lebih kepada santrinya.

Bagi Kiai Hariri, seluruh santri adalah anaknya sendiri. Ia tak pernah “mengkapitalisasi” doa-doa yang dipanjatkan dengan “Doa-doa ancaman dan kutukan”. Tak jarang saya mendengar doa-doa kutukan yang keluar dari ekspresi kemarahan. Dan saya tak melihat hal itu dari Kiai Hariri Ibn. Kiai Abul Adhim. bagi saya kiai sudah selesai dengan kepentingan dirinya, dengan dunianya dengan pangkat kekiaiannya. Ia begitu tulus dalam doa tanpa harus mencela.

Maka, Rabu bakda Zuhur, kabar itu begitu menghentak jantung hati. Saya tak habis fikir, saya yang sudah cukup lama tak menangis dan lebih sering tertawa tak kuasa menahan buliran air mata. Dari prosesi memandikan hingga mengantarkan beliau ke peristirahatan. Tangan saya kram, darah saya memanas dan air mata terus mengalir deras. Yang ada dalam benak saya, siapa lagi yang akan mengajarkan tentang ketulusan jika ia yang sangat tulus itu lebih dulu pergi?.[]

laka al-Fatihah Kiai Hariri Abd. Adhim.

—————–

Tulisan Ustadz Ahmad Husain Fahasbu, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur.

Iklan

About serambimata

Terus menulis

Posted on 9 November 2018, in Hikmah and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: