Berselancar di Pantai “Al Mukhtar”
Serambimata.com – Sudah melampaui pukul 22.00 Wib, saya baru sampai di pantai Lebuk, desa Sumberejo kecamatan Banyuputih, Situbondo. Di pantai yang bersebelahan dengan palelangan sederhana itu, di hamparan pasir yang cukup luas, saya melihat sebagian pemuda Sukorejo yang tergabung di Majlis Dzikir Basmalah (MDB) sudah berada di lokasi acara yang digelar sekali dalam 41 hari dengan berpindah-pindah tempat itu. Ada yang duduk santai, ada pula yang asyik bakar jagung sambil menikmati nasyid yang dipersembahkan grup hadrah Al Banjari, Hassan bin Tsabit.
Acara dzikir belum dimulai, hanya sholawat yang terus dilantunkan dengan merdu memecah debur ombak bersahutan, sementara jamaah tak satupun beranjak dari lokasi, sekalipun malam kiai larut. Sampai akhirnya sekitar pukul 00.05 Wib, sosok yang ditunggu-tunggu KHR Ahmad Azaim Ibrahimy tiba dengan disambut sholawat tholaal badru yang mendayu, mewakili perasaan rindu pada sang guru.
Beberapa saat kemudian, acara pertama dimulai, yaitu pengajian kitab Al Mukhtar min Kalamil Akhyar karangan Sayyin Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani Al Makki sebagai pengganti dari tausiyah yang dahulu selalu beliau sampaikan sebelum dzikir basmalah dimulai.
Malam itu saya baru pertama mengikuti kajian kitab yang juga baru saya beli di tempat itu. Beruntung baru dua kali kajian kitab itu disampaikan oleh kiai muda yang pernah berguru langsung kepada pengarang kitab setebal 472 halaman itu. Sehingga saya tidak erlalu banyak ketinggalan materi.
Madrasah Rabi’ah Al Adawiyah dan Dzin Nun Al Misri halaman 6 menjadi topik kajian malam itu. Materi dan penjelasan yang dipaparkan kiai muda yang akrab disapa Kiai Azaim begitu dalam, sehingga memaksa saya harus lebih fokus dan penuh konsentrasi.
“… tidak akan bisa mencapai derajat yang sejati, jika masih membedakan antara kerikil dan emas…”, demikian kutipan penjelasan Kiai Azaim disaat berkisah tentang salah satu ulama sufi terkemuka Syach Abu Hasan As Syadili.
Mengaji kitab Al Mukhtar ditambah dengan paparan panjang dan mencerahkan dari Kiai Azaim seperti mengajak saya berselancar di pantai yang bernama kitab Al Mukhtar. Menyadarkan saya betapa pantai itu teramat indah bila mampu mengarunginya di tengah dosa saya yang menjelaga sehingga jangankan hakikat, melaksanaan syariat saja tak sempurna.
Setelah dialog sesaat, kamipun larut dalam dzikir basmalah dan do’a yang dipimpin langsung oleh Kiai Azaim dilanjutkan dengan bersholawal mahallul qiyam mengais syafaat Nabi SAW meskipun sudah tidak lagi di bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran sang Puja’an dan Panutan.
Hingga tiba saatnya kami melebur dalam suasana suka cita dengan menikmati nasi tumpeng yang dihidangkan atas swadaya sahabat-sahabat jamaah secara suka rela.
Sekitar pukul 02.30 acarapun selesai. Satu persatu sahabat-sahabat satu tanah kelahiran mulai meninggalkan tempat. Sementara saya terus menganyam setiap pesan dari pengajian ataupun pertemuan singkat dengan teman-teman sambil terus melaju bersama panther tua kebanggaan menuju kediaman setelah terlebih dahulu menemui ibunda untuk berpamitan.
Semoga tak ada yang sia-sia. Aamiin….
—————–
Sukorejo, 23 Desember 2018
(Catatan dari pertemuan dan pengajian rutin bersama Majelis Dzikir Basmalah Sukorejo)
Posted on 25 Desember 2018, in Agama and tagged Ahmad Azaim Ibrahimy, al Mukhtar, Al Mukhtar min Kalamil Akhyar, Azaim Ibrahimy, dakwah Kiai Azaim, Majelis Dzikir Basmalah, MDB. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
Tinggalkan komentar
Comments 0