Kiai Imam Nakha’i: Rasulullah tidak Mengkhitan Puteri-puterinya, Khitan Wanita Haram

Serambimata.com – Bagi yang sudah terbiasa menjalankan ritual khitan terhadap bayi perempuan dengan alasan sunnah atau karena agama yang mengajarkan, temuan Kiai Imam Nakha’i ini tentu sangat mengejutkan. Dosen Lembaga Kader Fiqih, Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo itu menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menghitan puteri-puterinya. Bahkan ia menegaskan khitan tersebut haram karena Nabi SAW melarangnya.

Kiai Nakha’i, sebagaimana yang ditulis di laman facebook pribadinya mengungkapkan bahwa DR. Ali Jum’at, mufti Mesir dalam kitabnya al Bayan lima yusyghilul azdhan, penjelasan terhadap isu isu yg mengelisahkan, (hlm. 70) menyatakan bahwa Rasulullah tidak melakukan khitan terhadap putri putrinya. Mengapa Rasulullah tidak mengkhitan putrinya? Padahal ketika itu, gadis gadis Madinah di khitan?

Dengan tidak mengkhitan putrinya, Rasulullah sesungguhnya ingin melakukan perlawanan terhadap tradisi khitan perempuan yg membahayakan itu. Bukan hanya dengan prilaku Rasul, tetapi juga dengan mensabdakannya. Asyimmi wa laa tunhiki, tandai sedikit aja dan jangan potong berlebihan, sabda Nabi melawan tradisi yg disebut dengan khitan fir’auni itu. Sebagaimana ahlak Nabi yg agung itu, beliau tidak melawan tradisi dengan revolusioner, melainkan dengan cara gradual, perlahan lahan, sebagaimana proses penghapusan perbudakan, tradisi minum Khamer dan poligami.

Dari praktek Rasulullah dan Sabdanya itu, sesungguhnya segera bisa dipahami bahwa khitan perempuan adalah Haram, sebab Rasul melarangnya. Bahkan bukan hanya melarang, tetapi Rasul mempraktekkannya dengan tidak mengkhitan putri putrinya. Kalaupun sabda nabi diatas tidak dipahami sebagai larangan, namun praktek Nabi cukup sebagai indiktor bahwa Nabi ingin menghentikan praktek Khitan perempuan itu.

Dalam kaidah usul fiqih dikatakan “apabila antara sabda dan praktek bertentangan, maka prakteklah (al fi’lu) yang harus didahulukan”. Jadi jelas bahwa khitan perempuan bukanlah bagian dari “Ajaran Islam”. Bahasa agamanya (arabnya) , khitan perempuan, bukan “qhadhiyyah diiniyyah ta’abbudiyah” (bukan soal agama yg bersifat doktriner) melainkan persoalan “thabi’iyyaj adiyyah”.

Mesir Sendiri sebagai Negara Muslim, telah melarang khitan perempuan melalui peraturan mentri No 74 1959 dan keputusan Mentri kesehatan Mesir No 261 Tahun 1996. Yang mencengankan juga, adalah Bahwa tradisi khitan perempuan tidak dikenal dan tidak dipraktekkan di Saudi Arabiya, Negara yg diyakini sebagai cikal bakal Syariah Islam.

Jadi jelas, Bahwa khitan perempuan tidak pernah dipraktekkan dan dicontohkan Oleh Rasulullah kepda putri putrinya, dan tidak dikenal pula di Negra Asal muasal Syari’ah Islam.

Kalau Indonesia “ngeyel” memparaktekkan khitan perempuan, maka dipastikan Indonesia tidak mengikuti Rasulullah, tidak mengikuti Syari’ah Islam. Lalu mengikuti siapa?
Wallhu A’lam.

Pada bagian lain dari laman facebook pribadinya, Kiai Nakha’i bahkan kembali mempertegas keharaman melukai alat genital perempuan (khitan) dengan lebih banyak mengemukakan kaedah fiqh yang menjadi dasar keharaman khitan (khifad).

Ia menulis…..

Masih ada yang meragukan keharaman khitan perempuan. Tidak mengapa karena mitos khitan perempuan telah berlangsung sangat lama, sepanjang diskriminasi terhadap perempuan itu sendiri. Jadi membutuhkan proses yang tidak sebentar untuk membaliknya.

Sesungguhnya dengan argumen bahwa “Rasulullah tidak melakukan khitan kepada putri putrinya”, itu sudah terlalu cukup sebagai teladan dan dalil yg kokoh tidak di syari’atkannya khitan perempuan. Apalagi bagi kelompok yang “apa apa” harus ada hadisnya. Dengan Rasul tidak melakukan, berarti khitan perempuan adalah “bid’ah”. Wa kullu bid’ah dhalalah.

Bagi yg mempelajari kitab kitab Qawa’idul Fiqih akan sangat mudah menemukan argumen keharaman melakukan pelukaan dan pemotongan organ tubuh, apalagi organ vital. Di dalam kaidah fiqh dinyatakan “al Ashlu fi al jarhi/at tajrih at tahrim”, artinya pada dasarnya melukai anggota tubuh adalah haram, Kecuali adalah alasan syar’iy yg menghruskan pelukaan, seperti operasi cesar dan pelukaan lain yg didasarkan pada indikasi (kebutuhan) medis.

Dalam kaidah Fiqih yg lain dinyatakan “al wajib la yutraku illa li wajibin”, artinya kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karena kewajiban yang lain. Melukai perut ibu misalnya, adalah haram dan wajib ditinggalkan. Tetapi kewajiban meninggalkan melukai perut ibu boleh ditinggalkan (diabaikan) karena ada kewajiban lain yaitu meyelamatkan nyawa ibu dan janin.

Nah, melukai apalagi memotong alat genital perempuan adalah haram dan wajib ditinggalkan. Ia menjadi boleh kalau karena kewajiban lain yang maslahahnya lebih besar. Nah Rasul tidak menghitan putri putrinya, itu artinya tidak ada kemaslahatan dalam khitan perempuan, Sehingga tidak cukup kuat untuk membolehkan yang diharamkam.

Saya masih berkeyakinan bahwa pelukaan dan pemotongan alat genital perempuan (P2GP), adalah Haram, kecuali ada indikasi medis.

Wallahu A’lam.

Tulisan Kiai Imam Nakha’i tersebut ditanggapi beragam oleh netizen meskipun sebagian besar mengapresiasi terhadap pemikirannya itu, namun ada juga yang mempertanyakan keabsahan pernyataannya dengan merujuk pada dawuh ustadz-ustadz kampung yang menganjurkan.

Atas pertanyaan tersebut, Kiai yang juga menjadi Komisioner Komnas Perempuan menjawab bahwa telah banyak fatwa yang dikeluarkan para ulama tentang tidak bolehnya khitan perempuan.

About serambimata

Terus menulis

Posted on 22 September 2019, in Agama and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: