Kiai Afif: Daripada Terus Berdebat, Lebih Baik Mengajak Saudara Sesama Muslim Agar Sholat

Serambimata.com – Perdebatan soal khilafiyah seperti tak berujung. Diskusi seputar perbedaan cara pandang terhadap praktek peribadatan dan amaliyah umat Islam banyak menghiasi media sosial baik berbentuk artikel maupun video. Fenomena ini mendapat perhatian dari Katib Syuriah PBNU periode 2010 – 2015, KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag. 

Berawal dari sebuah video yang ditontonnya di sebuah group WhatsApp, pengarang kitab Fiqih Fathul Qaribul Mujib itu menyaksikan perdebatan dua tokoh yang mewakili dua kelompok yang selama ini sering berselisih faham dalam persoalan keagamaan. Kali ini yang mereka perdebatkan adalah soal kebolehan berdo’a kepada Allah dengan perantara orang-orang sholeh yang sudah meninggal (tawassul). 

“Tadi pagi saya melihat video kiriman seorang teman di group WA Welas Asih. Isinya adalah debat antara Buya Yahya dan ustadz Thoharoh tentang boleh atau tidaknya tawassul dengan orang yang sudah meninggal. Buya Yahya berusaha keras meyakinkan lawan debatnya dengan mengemukakan beberapa hadits sebagai dalil bolehnya tawassul dengan orang yang sudah mati. Beliau juga menyampaikan sebuah kisah yg ditulis oleh Ibnu Katsiir di dalam kitab tafsirnya yang mengarah pada bolehnya tawassul tersebut”, kata wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafiiyah  Sukorejo Situbondo mengawali komentarnya.

“Ustadz Thoharoh menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Buya Yahya. Ia lebih meyakini pendapat Nashiruddin Al Albani yang telah men-zha’if-kan hadits-hadist yang dikemukakan Buya Yahya, dan men-takwil ibarat hadits yang secara zhahir menunjukkan bolehnya tawassul dengan orang mati”, lanjut Kiai Afif dalam akun facebook pribadinya.

Selanjutnya dosen lembaga Kader Ahli Fiqih Ma’had Aly Sukorejo itu mengungkap alasan Ustadz Thoharoh menolak argumen tentang tawassul. Tapi Kiai Afif juga menemukan kelemahan pendapat Ustadz Thoharah yang tidak disadarinya.

“Salah satu hal yang membuat ustadz Thoharoh sulit mengakui keabsahan hadits-hadist dan kisah yang disampaikan Buya Yahya ialah bahwa tidak ada manusia yg ma’shum (terjaga dari salah) selain Nabi shallallahu alahi wa sallam; Ibnu Katsiir dann ulama-uoama ahli hadits zaman dahulu adalah tdk ma’shum. Tampaknya, ustadz Thoharoh tidak menyadari bahwa Nashiruddin Al Albani yang ia kagumi juga tidak ma’shum”, ungkap Kiai Afif.

Namun pada bagian akhir pendangannya, Kiai Afifuddin menyampaikan tentang tidak perlunya perdebatan persoalan khilafiyah karena menurutnmya kedua belah pihak sama-sama meyakini kebenaran pendapatnya sehingga tidak akan ada titik temu dan hanya membuang energi. Karena itu ia menyarankan daripada terus berdebat lebih baik mengajak umat Islam yang tidak sholat agar melaksanakan sholat.

“Saya melihat bahwa ustadz Thoharoh tak mungkin mengikuti pendapat Buya Yahya, sebagaimana Buya Yahya tak mungkin mengikuti pendapat ustadz Thoharah. Maka, daripada buang-buang energi, debat terus, lebih baik kita mengajak saudara-saudara muslim kita yang tidak shalat agar supaya shalat”, pungkas wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU itu. 

Kendati begitu memahami dalil-dalil dan hujjah yang dijadikan dasar kebolehan, sunnah, larangan bahkan hukum wajib bagi suatu peribadatan juga penting agar tidak mudah terpengaruh dengan paham-paham yang dengan mudah menyalah-nyalahkan, membit’ahkan bahkan mengharamkan ibadah atau amaliyah lainnya. (Hans)

About serambimata

Terus menulis

Posted on 27 September 2017, in Agama and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: